Liputan6.com, Jakarta Ada sedikit perasaan mengganjal ketika Rizal Mantovani menggambarkan film terbarunya, Wewe dengan sejumlah horor laris Hollywood seperti The Conjuring, Insidious, dan Mama.
Maklum, penggambaran tersebut datang dari orang yang membidani horor sekelas Jelangkung. Belum lagi keberhasilannya menciptakan babak baru dari Kuntilanak yang sebelumnya sudah terlanjur melekat dengan senyum seram almarhumah Suzanna.
Advertisement
Jadi ketimbang mengamini segala kemiripan filmnya dengan sejumlah film tersebut, akan lebih terasa maksimal jika Rizal mempresentasikan Wewe sebagai hasil juangnya di banyak genre horor. Mulai dari yang seram macam Jelangkung hingga yang agak agak 'menjurus' seperti Air Terjun Pengantin.
Lalu, di balik segala promosi besar Wewe, kejutan apa yang disiapkan Rizal di filmnya kali ini?
Dibanding karya horor lainnya, pembukaan film Wewe boleh dibilang juara karena mampu membuat merinding saat menontonnya. Dengan segudang pengalaman yang dimilikinya di bidang videoklip, Rizal tahu betul cara membuat set yang meyakinkan.
Tidak lupa, sejumlah boneka-boneka kotor juga diselipkan sebagai pesan tentang betapa seramnya rumah ini. Ya, formula yang hampir sama dengan puluhan film horor lainnya, Rumah Berhantu.
Memasuki awal cerita, penonton disuguhi keluarga kecil yang terdiri dari Jarot (Agus Kuncoro), Irma (Inong Nidya Ayu), Luna (Nabilah JKT48), dan Aruna (Khadijah Banderas). Kalau boleh jujur, tokoh Jarot ini punya selera yang buruk dalam hal properti. Hal itu terbukti dengan hunian gede nan horor yang dipilihnya sebagai tempat tinggal baru keluarganya.
Tidak heran, mulai dari istri hingga anak-anaknya, semuanya mengamuk begitu tahu kalau harus tinggal di rumah seseram itu. Kecuali pembantu mereka, yang langsung sibuk mengurusi urusan dapur.
Sayang, meski cerita hingga poin ini masih berjalan natural, sosok Irma sebagai salah satu karakter utama justru malah menjadi titik terlemah di film ini. Karena sejak pindah rumah hingga menuju klimaks cerita, yang dilakukannya hanya mengomel dan mengomel.
Okelah, dia adalah wanita karir yang sangat sibuk. Tapi bukan berarti kalau dia harus berteriak sepanjang waktu.
Beruntung, di luar tidak pentingnya karakter Irma, karakter-karakter lain justru terbangun dengan baik. Agus Kuncoro misalnya, ia mampu memperlihatkan sosok ayah yang acuh namun tetap berusaha membahagiakan kedua anaknya. Begitu juga Nabilah yang sukses menanggalkan mahkota JKT48nya dan menjelma menjadi remaja perempuan biasa yang tengah dipusingkan oleh jerawat di kedua pipinya.
Untuk urusan make up dan setting lokasi, Rizal benar-benar membuktikan kalau film ini benar-benar termasuk horor yang niat. Bentuk makhluk halusnya juga seram, terlebih dengan atmosfir dan kemunculannya yang kebanyakan tidak terprediksi.
Namun, apa mau dikata, naskah yang sedikit kedodoran di pertengahan cerita lagi-lagi harus memaksa para penonton terhujam ke luka lama.
Di saat-saat di mana film ini harusnya sudah mencapai klimaks, penonton sekali lagi harus rela diteriaki oleh karakter Irma yang sepertinya tidak benar-benar sadar dengan situasi yang tengah terjadi. Alhasil, meski separuh cerita sudah berjalan dengan bagus, potensi-potensi yang ada jadi tidak tersentuh secara sempurna dan terpaku pada satu masalah yang harusnya sudah selesai di seperempat film.
Akhir kata, niat besar saja nampaknya belum cukup bila tidak didukung naskah yang kuat. Tapi kalau dibandingkan dengan sejumlah film horor Indonesia lain di tahun ini, Wewe boleh disebut sebagai sebuah kemajuan di genre horor Tanah Air.
Bahkan, jika dilihat secara subjektif, tingkat ketegangan yang disajikan karya ini bahkan mampu menyaingi kengerian beberapa horor Hollywood seperti Ouija, Jessabelle, hingga spin off The Conjuring: Annabelle sekalipun.(Feb/Ade)