Review I Am Hope: Lebih dari Sekadar Film dengan Niat Baik

I Am Hope menuturkan perjuangan seorang gadis penderita kanker paru-paru.

oleh Ratnaning Asih diperbarui 18 Feb 2016, 19:40 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2016, 19:40 WIB
Film I Am Hope
Ikuti live straming tentang film I Am Hope

Liputan6.com, Jakarta - Sudah sewajarnya bila sebuah film yang memiliki misi mulia, mendapat apresiasi tersendiri. Seperti I Am Hope, misalnya. Film ini memiliki niat sangat baik, yakni menyuntikkan semangat bagi para penderita kanker, juga menggalang dana bagi penderita penyakit ini.

Namun sebagai sebuah karya seni, untuk menilai film seperti ini seharusnya dilihat sejajar dengan sinema lain. Tak cukup bila hanya mengandalkan niat baik semata. 

Untungnya, I Am Hope memiliki banyak kelebihan lain yang ditawarkan selain sebuah itikad baik.

Salah satu adegan I Am Hope (YouTube)

Film ini bertutur tentang Mia (Tatjana Saphira), seorang gadis yang mewarisi penyakit yang merenggut nyawa ibunya, kanker paru-paru. Namun, penyakitnya ini tak menghalangi niatnya mengejar cita-cita besarnya: menggelar sebuah pertunjukan teater.

Hanya saja, ayahnya (Tio Pakusadewo) begitu mengkhawatirkan kesehatan Mia, sehingga membatasi ruang gerak putri satu-satunya ini. Sementara itu, hari-harinya makin merah jambu dengan kehadiran David (Fachri Albar), seorang aktor teater muda.

I Am Hope memiliki sebuah plot yang begitu membumi. Tak ada kelicikan atau tingkah menyebalkan tokoh antagonis dalam film ini. Musuh bersama para karakter film ini adalah kanker dalam paru-paru Mia yang telah menyebar ke organ tubuhnya. Dan musuh yang hampir tak terlihat ini, menghasilkan tarikan-tarikan emosi yang nyata dan terasa masuk akal antara para pemainnya. Misalnya, dinamika hubungan Mia dan sang Ayah sepanjang film ini, karena perbedaan pola pikir keduanya dalam menghadapi kanker.

Cuplikan I Am Hope (YouTube)

Kanker sendiri adalah penyakit yang ‘populer’ di dunia sinema. Tak terhitung berapa film yang telah mengangkat penyakit ini sebagai motor penggerak plot. Satu hal yang patut diapresiasi, film ini tak lantas mengeksploitasi kanker sekadar sebagai alat yang menciptakan suasana melankolis. I Am Hope tak seperti film-film romantis yang pemeran utamanya menye-menye menangisi kekasih hati yang menderita penyakit ini.

Aspek-aspek kelam dan brutal dari kanker seperti proses kemoterapi atau runtuhnya semangat penderita kanker, memang tetap dimunculkan dengan sangat jelas. Namun, tidak dibuat secara berlebihan.

Tatjana Saphira dan Tio Pakusadewo dalam I Am Hope (YouTube)

I Am Hope lebih memposisikan penyakit ini sebagai sebuah satu masalah yang berusaha dilewati para karakter film ini, dan meletakkannya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Secara realistis, para tokoh tetap menjalani kehidupan seperti biasa. Namun ada mendung bernama kanker yang diam-diam selalu membayangi mereka.

Ini adalah pendekatan yang selaras dengan tujuan film ini, yakni memberikan semangat pada para penderita kanker. Apalagi, didukung tone hangat yang muncul di sebagian besar durasinya, film ini lebih banyak menampilkan atmosfer yang positif.

Sang sutradara, Adilla Dimitri yang juga menulis skenario bersama Renaldo Samsara, memasukkan sebuah karakter unik dalam film ini, yakni Maia, teman imajiner Mia. Tak hanya dengan Mia, Maia sekali waktu mampu berinteraksi dengan karakter lain dalam film ini—meski tak dilakukan secara tatap muka.

Karakter Mia dan Maia dalam I Am Hope (YouTube)

Fisik dan karakteristik Maia dan Mia jelas-jelas bertolak belakang. Mia berambut lurus dan berwatak sedikit kaku, sementara Maia berpenampilan dan berbusana sebebas kaum bohemian. Tokoh yang dimainkan oleh Alessandra Usman ini, memberikan sedikit percikan sureal dalam sebuah film yang begitu realis.

Aktor-aktor pria dalam film ini menampilkan permainan yang begitu apik. Persenyawaan antara Tio Pakusadewo dan Fachri Albar, mampu menghadirkan beragam nuansa yang berbeda tiap kali mereka berduel akting. Mereka bisa menghadirkan kecanggungan dan sisi konyol antara seorang ayah dan lelaki yang hendak memacari anaknya. Mereka juga mampu memberikan penampilan dengan tensi emosi yang tinggi.

Tio Pakusadewo dan Fachri Albar dalam I Am Hope (YouTube)

I Am Hope, tentu bukan tanpa kekurangan. Di lima belas menit terakhir film ini misalnya, tempo berubah dengan tiba-tiba sehingga terasa sedikit janggal. Ada pula detail-detail kecil yang terlewat, yang sebenarnya akan sangat memperkaya film ini. Misalnya dari mana datangnya dana pengobatan Mia, karena  sebelumnya ayahnya digambarkan telah habis-habisan menjual harta benda demi pengobatan ibu Mia.

Hal ini bisa menjadi catatan bagi Alkimia Production maupun Adilla Dimitri, yang sama-sama debut film panjang perdananya lewat I Am Hope. Sehingga ke depannya, keduanya mampu menghasilkan film yang tak hanya sekuat I Am Hope, bahkan bisa lebih ciamik lagi.  (Rtn)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya