Susi Susanti Love All: Tentang Momen Terbaik Dalam Hidup dan Kapan Mesti Berlabuh

Cerita Susi Susanti: Love All bergerak dari tahun 1980-an.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Okt 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2019, 13:00 WIB
Susi Susanti: Love All (Instagram/ filmsusisusanti)
Laura Basuki dalam film Susi Susanti: Love All (Instagram/ filmsusisusanti)

Liputan6.com, Jakarta Banyak yang menyangka adegan puncak film Susi Susanti: Love All di olimpiade Barcelona, Spanyol, pada 1992. Ternyata itu salah. Susi Susanti: Love All, karya perdana sutradara Sim F, membawa pemahaman kita lebih jauh tentang seorang atlet. 

Ini juga bukan biografi biasa. Berpijak pada kisah pribadi soal keluarga dan cinta (tentunya), Susi Susanti: Love All menyiratkan pergolakan batin, definisi juara sejati, pilihan realistis, dan pencapaian hidup. Dieksekusi rapi dengan sinematografi penuh gaya, Susi Susanti: Love All layak disebut film biografi terbaik tahun ini.

Cerita Susi Susanti: Love All bergerak dari tahun 1980-an, saat Susi Susanti (Moira) berusia 14 tahun, di Tasikmalaya. Usai memenangkan pertandingan bulu tangkis dalam perayaan lomba 17 Agustus, bakat Susi diendus PB Jaya. Diantar sang ayah (Iszur), Susi pergi ke Jakarta. Prestasi mengantar Susi (Laura) ke Pelatnas. Di sana ia mengenal Sarwendah (Kelly) dan Alan Budi Kusuma (Dion). Try Sutrisno (Farhan) dan MF Siregar (Lukman) yang kala itu mengurus PB PBSI mengabarkan Indonesia akan jadi tuan rumah Sudirman Cup.

Siregar memanggil dua mantan atlet nasional, korban kebijakan politik era Orde Baru, yang terpaksa pindah ke Tiongkok yakni Tong (Chew) dan Chiu Sia (Jenny). Chiu Sia yang meyakini bakat Susi menempatkannya sebagai pemain ketiga alias penentu. Tak disangka, Susi menang dan membuka jalan Indonesia meraih Piala Sudirman. 

Susi kemudian melenggang ke olimpiade Barcelona. Kemenangan di Barcelona tak lantas membuat Susi Susanti tenang. Ia rupanya belum resmi menjadi warga negara Indonesia. Yang diusung Susi Susanti: Love All sejak awal bukan keinginan jadi atlet kelas dunia, mengingat ia balerina cilik. 

Tugas melanjutkan mimpi ayah menjadi atlet sebenarnya ada di pundak kakaknya. Lalu alur hidup membawa Susi ke arena yang tak pernah dibayangkannya. Dibesarkan di lingkungan keluarga Tionghoa, Susi dekat dengan bakpao dan ciapo. Sebelum rentetan adegan ini hadir, Sim F memberi klu soal menu utama yang disajikan Susi Susanti: Love All yakni kegelisahan warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia.

 

Sensitivitas Etnis

[Fimela] Launching Poster Susi Susanti Love All
Launching Poster Susi Susanti Love All (Daniel Kampua/Fimela.com)

Presiden Soeharto ingin melenyapkan paham komunis. Kebijakan ini membuat sejumlah warga keturunan Tionghoa kesulitan mendapat status WNI. Banyak yang dibiarkan mengambang statusnya. Yang tak tahan kondisi ini memilih hengkang ke Tiongkok betulan. 

Dari sudut pandang ini, kisah Susi Susanti dijahit. Sensitivitas soal etnis Tionghoa dijaga dari Tasikmalaya hingga kali pertama Susi tiba di Jakarta, lewat adegan pedagang asongan yang melemparkan makanan ke kaca jendela bus sambil menyinggung kaitan (maaf) sipit dan pelit.

Sensitivitas etnis tak selamanya negatif. Sim F mempresentasikan bagaimana seorang pahlawan dibentuk dari latihan-latihan untuk mencapai kesempurnaan. Adegan ini dibingkai Yunus Pasolang dengan ciamik. Beberapa kali kita melihat jendela kaca, jendela rumah, dan pintu membingkai adegan. 

Selain menebalkan aspek estetika, ia mewakili sudut pandang salah satu tokoh. Yang paling terasa kuat dari film ini yakni naskah dan akting. Sejak awal, kelima penulis naskah menegakkan ciri khas khususnya pada interaksi ayah dan Susi.

 

Pernah Bersenyawa

[Fimela] Dion Wiyoko - Laura Basuki
(Daniel Kampua/Fimela.com)

Sapaan “Hai, Muak” dan puncaknya “Hai, Takut” tampaknya akan menjadi momen-momen kecil berdampak besar di benak penonton. Sederhana, dieksekusi dengan penjiwaan tingkat dalam oleh Iszur dan Laura. Sangat film, namun bukan tidak mungkin terjadi di rumah Anda atau kami. 

Akting Dayu Wijanto juga membuat jatuh hati. Dengan aksen Sunda yang pas, Dayu punya cara sendiri untuk membangun emosi dengan Susi, kakaknya, dan suami. Selera humornya kadang mak-mak banget, tapi begitulah ibu di perkampungan.

Dan ini bukan kali pertama Laura Basuki dipasangkan dengan Dion Wiyoko. Kita pernah melihat keduanya bersenyawa di Terbang, Menembus Langit karya sineas Fajar Nugros. Di Susi Susanti: Love All kekhawatiran kami bahwa Laura dan Dion sekadar mengulang momen rupanya tak terbukti. 

Kali pertama muncul di layar besar, Laura telah menjadi Susi lewat pendiriannya yang keras bahkan terhadap diri sendiri, dominan, tapi saat bersama orang terdekat, ia lembut kadang rapuh. Itulah Susi dan Laura menguasai ragam emosi itu.

 

Barcelona Bukan Tujuan Akhir

Susi Susanti: Love All (Instagram/ filmsusisusanti)
Laura Basuki dalam film Susi Susanti: Love All (Instagram/ filmsusisusanti)

Dion dengan gaya rambut 1990-an dan aksen medoknya membuat kami percaya dialah Alan. Relasi keduanya dieksekusi Sim F lewat gradasi indah dari canggung, jaga jarak, kenal sebatas kulit, kencan spontanitas, hingga kita tahu ke mana akhirnya mereka berlabuh. 

Sim F juga punya ruang bagi para tokoh pendukung. Sarwendah misalnya, di tangan Kelly Tandiono jadi scene stealer. Santai, menyenangkan, tapi juga nakal di beberapa titik. Momen bersama tembok adalah salah satu yang kocak dan akan diingat penonton dari film ini.

Nah, problem film ini adalah momen di Barcelona yang digarap tidak serapi dan seklimaks Sudirman Cup. Bisa jadi, karena adegan ini berkelelebatan bersama pergolakan hati tokoh utama. Bisa jadi, karena Barcelona bukan tujuan akhir film ini. 

Namun kita tahu Barcelona puncak prestasi tunggal putri yang hingga kini belum terulang. Harus diakui, 27 tahun berlalu dan Indonesia belum punya Susi yang baru. Penonton tidak merasakan feel dramatis di sana meski air muka Laura Basuki saat menatap bendera merah putih dikerek adalah yang terbaik.

 

Cerita Akhir

[Fimela] Dion Wiyoko - Laura Basuki
(Daniel Kampua/Fimela.com)

Pun perjalanan film ini menuju akhir cerita terasa kurang santai alias agak buru-buru sehingga beberapa problem akhirnya berakhir dengan tulisan-tulisan. Tak apa, sih mengingat banyak film bagus menempuh langkah serupa. 

Susi Susanti: Love All bertumpu pada naskah apik, diperkuat akting pemain, sinematografi, dan artistik yang menarik kita pulang ke asyiknya era 1990-an. Yang paling penting, film ini mengingatkan kita akan banyak hal tentang hidup. Soal bedanya menyerah dan mundur. Soal juara sejati tak kan lahir tanpa lawan yang tangguh. 

Susi Susanti yang digelari Legenda Hidup, Juara Dunia, Srikandi Bulu Tangkis atau apa pun itu, telah menemukan momentum terbaik dalam hidup dan akhirnya tahu kapan harus menepi. 

Kini pertanyaan yang sama diajukan kepada Anda dan kami. Sudahkah mencapai momentum terbaik dalam hidup? Sudahkah tahu kapan mesti menepi dan berlabuh? (Wayan Diananto)

  

Film Susi Susanti Love All

Pemain: Laura Basuki, Dion Wiyoko, Dayu Wijanto, Iszur Muchtar, Kelly Tandiono, Jenny Chang, Chew Kin Wah, Farhan, Lukman Sardi, Moira Tabina Zayn

Produser: Daniel Mananta, Reza Hidayat, Guilllaume Catala

Sutradara: Sim F

Penulis: Syarika Bralini, Raditya, Raymond Lee, Sinar Ayu Massie, Daud Sumolang

Produksi: Time International Films, Damn! I Love Indonesia Movies, Oreima Films, East West Synergy, Buddy Buddy Pictures, Nara Prayatna Tama

Durasi: 1 jam, 40 menit

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya