Liputan6.com, Lamongan - Polisi berupaya menggandeng seluruh pemangku kepentingan atau tokoh masyarakat termasuk mantan narapidana terorisme untuk menangkal peredaran paham radikal di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Salah satu yang dilakukan melibatkan puluhan mantan narapidana terorisme yang tergabung dalam Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP).
Kapolres Lamongan AKBP Feby Hutagalung menuturkan, setelah bom Bali I yang pelakunya merupakan warga Lamongan, penyebaran paham itu kini di Lamongan tidak signifikan. Namun, polisi tetap berupaya dengan menggandeng seluruh pemangku kepentingan atau tokoh masyarakat, termasik mantan narapidana terorisme.
Advertisement
"Ada Yayasan Lingkar Perdamaian yang didirikan BNPT di mana itu cukup efektif menggandeng mantan napiter untuk direkrut bergabung sehingga mereka terakomodasi dalam satu komunitas," tutur Feby, seperti dikutip dari Antara, ditulis Minggu (28/7/2019).
Baca Juga
Ada wadah yang bersifat kekeluargaan diyakini membawa pencerahan dan pemberian wawasan kebangsaan yang cukup efektif sehingga terjadi perubahan pandangan.
"Salah satu tujuannya menjauhkan mantan anggota dari sifat destruktif," ujar Feby.
Meski begitu, Feby menyebut terdapat daerah rawan yang terus diawasi untuk mencegah adanya aksi amaliah. "Kekhususan tidak bisa saya sebut. Memang ada beberapa yang rawan dan masuk pantauan dari kami dan Densus 88," ucap dia.
Total sebanyak 42 mantan napiter serta anggota organisasi radikal bergabung dengan YLP. Bahkan pada 17 Agustus 2018, semuanya mau terlibat dalam upacara, baik sebagai peserta mau pun petugas.
"Luar biasa mantan napiter awalnya dalam pikirannya Pancasila dianggap kafir, tidak sesuai pemahaman mereka, secara perlahan dengan adanya pengarahan dan bimbingan, mau melajutkan penghormatan dan menjadi petugas upacara. Meski prosesnya cukup panjang," tutur Feby di Lamongan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Selanjutnya
Selain itu, belasan warga Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang pernah berangkat ke Suriah, baik yang telah bergabung dengan kelompok radikal ISIS mau pun yang dideportasi sebelum sampai terus diawasi pergerakannya.
"Kami memantau keberadaan mereka melalui Bhabinkamtibmas dan baur pengumpulan bahan dan keterangan tingkat polsek," tutur Kepala Kepolisian Resor Lamongan AKBP Feby Hutagalung di Mapolres Lamongan, Jumat.
Polres Lamongan disebutnya juga bekerja sama dan berkoordinasi dengan pemerintah dan tokoh agama untuk melakukan pendekatan halus secara simultan sejak belasan warga tersebut kembali ke Lamongan pada 2015.
Selama tiga tahun melakukan pendekatan dinilainya kurang efektif karena para kombatan yang bergabung dengan ISIS itu tertutup dengan orang di luar kelompoknya.
"Kendalanya mereka cenderung tertutup sehingga upaya-upaya lain melalui teman-teman mantan napiter juga dimaksimalkan untuk melakukan pendekatan juga," kata Feby.
Untuk itu, selama setahun terakhir, pendekatan semakin diintensifkan melalui berbagai kegiatan dengan melibatkan mantan napiter yang sudah aktif melakukan kontra radikal.
Feby yakin pendekatan manusiawi yang menyentuh dan menyerap aspirasi kelompok tersebut atas keinginannya di Lamongan lambat laun akan menunjukkan hasil. Ada pun pada 2015, terdapat dua perempuan dewasa dan anak-anaknya yang hendak ke Suriah, tetapi tertangkap oleh aparat Turki dan kemudian dideportasi ke Indonesia. Semuanya merupakan keluarga.
Salah seorang suaminya masuk ke Suriah dan bergabung dengan ISIS, sementara suami perempuan lainnya meninggal saat dilakukan upaya penangkapan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri pada 2013. Selain satu keluarga tersebut, pada 2016 terdapat seorang remaja yang kedua orangtuanya lolos masuk ke Suriah sehingga harus tinggal dengan neneknya di Lamongan.
Advertisement