Kisah Lim Seeng Tee, Pendiri Perusahaan Rokok HM Sampoerna Asal Surabaya

Kisah Lim Seeng Tee dalam merintis usaha Sampoerna di Surabaya, Jawa Timur.

oleh Liputan Enam diperbarui 31 Jul 2019, 08:00 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2019, 08:00 WIB
Tempat Wisata di Kota Pahlawan, Surabaya (1)
House of Sampoerna, salah satu tempat wisata terkenal di Surabaya (Foto: kotawisataindonesia.com)

Liputan6.com, Surabaya - PT HM Sampoerna merupakan salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Pada 2018, pangsa perseroan mencapai 33 persen. Perusahaan yang bermula dari rumah di Surabaya, Jawa Timur ini bahkan mencatatkan kapitalisasi pasar saham terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Tercatat kapitalisasi pasar saham perusahaan yang memiliki kantor pusat di Surabaya, Jawa Timur ini mencapai Rp 343 triliun pada 30 Juli 2019.  Meski kepemilikan saham mayoritas sekarang dipegang oleh Philip Morris International sebesar 92,5 persen, PT HM Sampoerna Tbk tak bisa lepas dari sejarah pendirinya Lim Seeng Tee.

Liputan6.com merangkum dari Buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? karya Ady Setyawan dan Marjolein van Pagee, dalam salah satu babnya menceritakan House of Sampoerna. Museum tersebut populer bagi masyarakat Surabaya. Bahkan museum ini pernah mendapatkan sejumlah penghargaan. Di museum ini juga menceritakan kehidupan Lim Seeng Tee dan gedung House of Sampoerna.

Bermula ketika Lim Seeng Tee yang berusia lima tahun datang ke Indonesia bersama ayah dan kakak perempuannya dengan menumpang kapal dagang. Mereka datang dari Desa Anxi, Fujian, China. Sang Ibu telah meninggal terlebih dahulu karena musim dingin yang hebat.

Setelah berminggu-minggu melalui perjalanan, akhirnya mereka sampai di Singapura. Di Singapura, Lim dan ayahnya harus merelakan kakak perempuan Lim diadopsi oleh keluarga di sana, karena tuntutan ekonomi.

Selanjutnya, Lim dan ayahnya datang ke Surabaya, Ayah Lim mengalami sakit keras setelah enam bulan tiba di Kota Pahlawan tersebut, dan ayah Lim meninggal. Namun, sebelum itu, sang ayah sempat menitipkan Lim kepada keluarga sederhana di Bojonegoro.

Lim hidup dengan keluarga barunya itu dengan segala keterbatasannya. Ia diajarkan ilmu-ilmu dasar berdagang. Kemudian, ketika Lim memasuki umur 11 tahun, ia mulai hidup mandiri dengan meninggalkan keluarga angkatnya yang di Bojonegoro. 

Ia menjadi anak yatim piatu yang menghidupi dirinya sendiri. Mencari sumber rezeki dengan menjajakan barang dagangan, ia menjualnya dari gerbong ke gerbong kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Ketika uangnya sudah mulai terkumpul, Lim membeli sebuah sepeda bekas sebagai transportasinya berdagang.

Pada 1912, Lim Seeng Tee menikah dengan Siem Tjiang Nio dan menyewa sebuah warung kecil di Jalan Tjantian di kawasan kota tua, Surabaaya. Warung ini menjual aneka kebutuhan pokok, Lim juga menjual produk tembakaunya secara berkeliling menggunakan sepedanya di Surabaya.

Kemudian, ketika Lim beserta istrinya telah memiliki kehidupan yang berkecukupan, mereka akhirnya membeli sebuah gedung bekas yayasan panti asuhan. Gedung seluas 1,5 hektar tersebut Lim gunakan sebagai tempat dan fasilitas untuk memproduksi rokok Sampoerna.

Sejak saat itu, kawasan ini dikenal dengan nama Pabrik Taman Sampoerna dan terus beroperasi hingga saat ini. Di kompleks tersebut ada sebuah aula besar yang Lim jadikan sebagai bioskop pada 1932 hingga 1961. Bahkan, artis Charlie Chaplin pun pernah menyambangi bioskop ini ketika ia mengunjungi Kota Surabaya.

Pada 1959, anak Lim dan Siem, yaitu Aga Sampoerna melanjutkan bisnis Sampoerna tersebut. Saat itu, perseroan fokus memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan meluncurkan sejumlah produk yang dikenal dengan Sampoerna Kretek.

Kemudian, generasi ketiga dari pendiri Sampoerna, yaitu Putera Sampoerna mengambil alih kepemimpinan Sampoerna pada 1978. Selanjutnya, pada 1989, perseroan pun mengeluarkan produk Sigaret Kretek Mesin (SKM).

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Perjalanan HM Sampoerna, Perusahaan Rokok yang Berawal dari Rumah di Surabaya

(Foto: Dok PT HM Sampoerna Tbk)
House of Sampoerna (Foto: Dok PT HM Sampoerna Tbk)

Sebelumnya, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), emiten rokok yang awal berdiri di Surabaya, Jawa Timur ini  mencatatkan penurunan harga saham sepanjang 2019. Hal ini membuat kapitalisasi pasar saham terperosok ke posisi enam pada 26 Juli 2019.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), kapitalisasi pasar saham PT HM Sampoerna Tbk yang berkantor pusat di Surabaya ini tercatat Rp 338 triliun pada 26 Juli 2019. 

Padahal emiten rokok ini sempat menguasai kapitalisasi pasar saham di BEI bersama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Pada periode Oktober-Desember 2018, kapitalisasi pasar saham sempat tembus Rp 431,54 triliun. Kapitalisasi pasar saham ini merupakan harga saham terakhir dikalikan jumlah saham perseroan.

Sepanjang 2019, saham PT HM Sampoerna Tbk susut 22,81 persen dari Rp 3.770 per saham pada 2 Januari 2019 menjadi Rp 2.910 per saham pada 26 Juli 2019. Demikian mengutip data yahoofinance.

Hal ini berbanding terbalik dengan kinerja keuangan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) hingga semester I 2019. Tercatat perseroan mencatatkan laba yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk tumbuh 10,74 persen menjadi Rp 6,77 triliun hingga semester I 2019 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 6,11 triliun. Penjualan bersih naik 3,1 persen dari Rp 49,15 triliun pada 30 Juni 2018 menjadi Rp 50,71 triliun pada 30 Juni 2019. Total aset sekitar Rp 43,11 triliun pada 30 Juni 2019.

PT HM Sampoerna Tbk, merupakan salah satu perusahaan rokok yang memiliki sejarah panjang di Indonesia. Perusahaan ini berawal dari industri rumah tangga pada 1913 di Surabaya, Jawa Timur yang dibangun oleh Liem Seeng Tee. Ia memulai usahanya dengan memproduksi dan menjual produk sigaret kretek tangan (SKT) di rumahnya di Surabaya, Jawa Timur.

Mengutip laman PT HM Sampoerna Tbk Tbk, usaha kecil Liem Seeng Tee itu merupakan salah satu usaha pertama di Indonesia yang membuat dan memasarkan sigaret kretek tangan dengan merek Dji Sam Soe.

Usaha rokok ini semakin berkembang. Pada 1930, industri rumah tangga ini diresmikan dengan dibentuknya NVBM Handel Maatschapij Sampoerna.

Liem Seeng Tee memindahkan keluarga dan pabriknya ke sebuah komplek bangunan di Surabaya, Jawa Timur. Kemudian diberi nama Taman Sampoerna. Hingga saat ini, Taman Sampoerna masih memproduksi SKT.

Pada 1959,  Aga Sampoerna, yang merupakan generasi kedua keluarga Sampoerna melanjutkan bisnis Sampoerna. Pada saat itu, perseroan fokus memproduksi SKT dengan meluncurkan sejumlah produk yang dikenal dengan sampoerna kretek.

Generasi ketiga dari keluarga Sampoerna yaitu Putera Sampoerna. Ia pun mengambil alih kepemimpinan Sampoerna pada 1978. Pada 1989, perseroan pun meluncurkan produk sigaret kretek mesin (SKM).

Setahun kemudian tepatnya pada 15 Agustus 1990, perseroan mencatatkan saham di pasar modal Indonesia dengan kode saham HMSP. Harga penawasan saham perdana saat itu Rp 12.600 per saham dan jumlah saham yang dilepas ke publik 27 juta saham dengan nilai nominal Rp 1.000.

 

 

Diakuisisi Philip Morris

Perseroan mulai mengembangkan struktur perusahaan modern dan menjalani periode investasi dan ekspansi. Kemudian pada 1994, perseroan menerbitkan saham bonus, setiap pemegang dua saham lama menerima tiga saham baru. Jumlah saham beredar setelah transaksi menjadi 450 juta. Perseroan kemudian mengubah nilai nominal saham dari Rp 1.000 per saham menjadi Rp 500 per saham pada 1996.

Kemudian pada 2001, Michael Sampoerna didapuk menjadi pemimpin Sampoerna yang merupakan generasi keempat. Pada 2005, perusahaan rokok Philips Morris International Inc mengakuisisi saham PT HM Samoerna Tbk atau sekitar 40 persen saham HM Sampoerna. Nilai akuisisinya sekitar USD 2 miliar. Philips Morris membeli saham HM Sampoerna Rp 10.600 per saham atau 20 persen di atas harga saham HM Sampoerna sebelum dibeli sekitar Rp 8.850 per saham pada 10 Maret 2005. Kemudian Philip Morris Indonesia menambah kepemilikan saham di PT HM Sampoerna Tbk menjadi 97 persen pada Mei 2005.

PT HM Sampoerna Tbk pun mencatatkan posisi pertama dalam pangsa pasar rokok di Indonesia pada 2006. Selain itu, usaha perseroan makin berkembang dengan meresmikan pengoperasian pabrik SKM di Karawang senilai USD 250 juta pada 2008.

Gebrakan perseroan selanjutnya pada 2012 dengan melewati volume penjualan 100 miliar batang. Kemudian pada 2015, perseroan menyelesaikan proses rights issue atau penawaran saham terbatas. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi syarat 7,5 persen dari modal disetor harus dimiliki oleh pemegang saham bukan pengendali dan pemegang saham utama.

Agar saham PT HM Sampoerna Tbk dapat terjangkau oleh investor ritel, perseroan pun melakukan stock split atau pemecahan nilai nominal saham 1:25 pada 2016. Langkah ini juga dilakukan agar menarik minat investor ritel lebih luas.

Per 31 Desember 2018, pemegang saham perseroan PT Philip Morris Indonesia sebesar 92,5 persen dan masyarakat 7,5 persen.

Mengutip laporan tahunan 2018, salah satu perusahaan rokok tertua di Indonesia mencatatkan pangsa pasar 33 persen pada 2018. Volume penjualan mencapai 101,4 miliar batang.

Saat ini perseroan memiliki kantor pusat di Surabaya tepatnya di Jalan Rungkut Industri Raya. Sedangkan pabrik perseroan antara lain di Surabaya, Pasuruan, Malang, Karawang dan Probolinggo. Pada 30 Juni 2019 perseroan bersama entitas anak usaha memiliki 25.172 orang karyawan tetap.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya