Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini Bandara Juanda bersama sembilan bandara lain di Indonesia yang dikelola oleh PT Angkasa Pura I (Persero) memperoleh akreditasi Customer Experience Accreditation Program dari Airports Council International (ACI).
Hal ini menjadikan Angkasa Pura I sebagai operator bandara pertama di Asia-Asifik yang mayoritas bandara dikelola mendapatkan pengakuan atas komitmen peningkatan pengalaman pelanggan.
Jauh sebelum tercapainya berbagai prestasi, Bandara Juanda Sidoarjo memiliki cerita panjang dalam kisah pembangunannya. Hal ini seperti yang dipaparkan dalam buku Surabaya Punya Cerita Vol. 1 karya Dhahana Adi.
Advertisement
Kisah dimulai ketika Biro Penerbangan Angkatan Laut berdiri pada 1956. Sejak saat itu, program untuk membangun satu pangkalan udara baru dengan taraf internasional sudah mulai digagas. Namun, pada akhirnya agenda politik tetap menjadi faktor yang menentukan ter-realisasikannya program tersebut.
Baca Juga
Salah satunya ketika pembebasan Irian Barat diperjuangkan. Demi membantu kinerja TNI dalam pembebasan Irian Barat, pemerintah menyetujui pembangunan pangkalan udara baru di wilayah sekitar Surabaya, Jawa Timur. Kala itu, terdapat beberapa pilihan yang ingin dijadikan lokasi, antara lain: Gresik, Raci (Pasuruan), dan Sedati (Sidoarjo).
Setelah survei dilakukan, akhirnya Desa Sedati, Sidoarjo terpilih menjadi lokasi. Selain karena dekat dengan Surabaya, tempat ini juga dipilih karena tanahnya yang sangat luas dan datar, sehingga memungkinkan untuk dibangun pangkalan udara yang besar. Bahkan, masih terdapat kemungkinan untuk dilakukan pembesaran lagi di kemudian hari.
Proyek pembangunan yang dilakukan disebut sebagai "Proyek Waru". Proyek ini merupakan proyek pembangunan lapangan terbang pertama sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan. Sedangkan pangkalan udara lainnya yang ada pada waktu itu adalah peninggalan Belanda yang kemudian diperbaiki dan disempurnakan.
Pelaksanaan Proyek Waru ini melibatkan tiga pihak utama, yaitu: Tim Pengawas Proyek Waru (TPPW) sebagai wakil pemerintah Indonesia,Compagnie d’Ingenieurs et Techniciens (CITE) sebagai konsultan, dan Societe de Construction des Batinolles (Batignolles) sebagai kontraktor.
Kedua perusahaan terakhir adalah perusahaan asing yang berasal dari Prancis. Dalam kontrak dengan tiga pihak tersebut, ditentukan proyek harus sudah rampung dalam kurun waktu empat tahun yaitu pada 1960–1964.
Pembebasan lahan dengan keseluruhan sekitar 2.400 hektar pun dilakukan untuk membangun pangakalan udara dengan landasan pacu yang besar (panjang 3.000 meter dan lebar 45 meter). Lahan yang dipakai tidak hanya berbentuk tanah, melainkan juga sawah dan rawa.
Untuk pembangunan tersebut juga dibutuhkan pasir dan batu dalam jumlah yang banyak. Pasirnya didapat melalui galian dari Kali Porong, sedangkan batunya diambil dari salah atu sisi Bukit Pandaan yang kemudian diangkut oleh ratusan truk proyek menuju Waru. Jumlah pasir dan batu yang dibutuhkan dalam proyek ini sekitar 11.200.000 m3 atau 1.800.000 ton.
Konon, jumlah pasir sebanyak itu dapat digunakan untuk memperbaiki jalan Jakarta-Surabaya sepanjang 793 km dengan lebar 5 m dan kedalaman 30 cm. Sedangkan untuk jarak tempuh seluruh truk proyek itu sendiri, bila digabungkan sekitar 25 juta km atau 600 kali keliling bumi!
Dengan kegiatan proyek yang dilakukan siang-malam serta dukungan kerjasama dari berbagai pihak antara lain Pemkot Surabaya, Komando Militer Surabaya, otoritas pelabuhan, dan masyarakat, akhirnya proyek tersebut dapat selesai lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
Pada 22 September 1963, landasan tersebut sudah siap digunakan. Hal ini menunjukkan, projek ini sudah selesai tujuh bulan lebih cepat. Sehari berikutnya, satu flight yang terdiri dari empat pesawat Gannet, di bawah pimpinan Mayor Kunto Wibisono mendarat untuk pertama kalinya di Bandara Juanda.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Saat Pembangunan Sempat Mengalami Masalah Keuangan
Di tengah proses pembangunan Proyek Waru sedang dilakukan, sempat terjadi krisis masalah keuangan. Bahkan, saat itu pihak Batignolles sempat mengancam untuk hengkang. Penanganan masalah ini pun terdengar hingga ke Presiden Sukarno.
Akhirnya, Sukarno kemudian membuat mandat kepada Ir. Djoeanda Kartawidjaja. Saat itu ia sedang menjabat sebagai menteri pertama pada saat era Demokrasi Terpimpin. Djoeanda diberi mandat untuk mengatasi masalah tersebut hingga proyek ini selesai.
Pada 15 Oktober 1963, Djoeanda mendarat di pangkalan udara Waru dengan menumpangi Convair 990. Ia datang untuk mengkoordinasi pelaksanaan proyek pembangunan disana. Tidak lama, pada 7 November 1963, Ir. Djoeanda wafat.
Advertisement
Nama “Djoeanda” Diresmikan
Djoeanda dianggap sangat berjasa dalam proses penyelesaian projek tersebut. Untuk mengenang jasa beliau, pangkalan udara baru tersebut pun dinamakan “Djoeanda”. Pangkalan Udara Djoeanda pun diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 12 Agustus 1964.
Selama perkembangannya, muncul masalah dari Garuda Indonesia yang ingin mengalihkan operasi pesawatnya (Convair 240, Convair 340, dan Convair 440) dari lapangan terbang Tanjung Perak yang kurang memadai ke Landasan Udara Djuanda. Namun, karena landasan udara Djuanda tidak direncanakan untuk penerbangan sipil, tidak terdapat fasilitas untuk menampung penerbangan tersebut.
Di sisi lain, kebutuhan Garuda Indonesia semakin mendesak, muncullah inisiatif untuk merenovasi gudang bekas Batignolles untuk dijadikan terminal sementara. Dan jadilah bandara di Surabaya pindah ke Juanda.
Seiring berjalannya waktu, frekuensi penerbangan sipil di Juanda kian bertambah. Melihat hal ini, akhirnya dibangun terminal untuk melayani penerbangan sipil. Terminal itulah yang nantinya menjadi Bandar Internasional Juanda yang dijalankan oleh PT Angkasa Pura I.
Melalui penggunaan sipil itu, Lanudal Juanda mendapat dana tambahan, baik dari airport fee maupun penggunaan landasan. Biaya ini digunakan untuk menutupi biaya operasional dan pengembangan bandara.
Sempat terdapat pula ide dari pemerintah untuk memindahtangankan hak penggunaan pangakalan tersebut. Hal ini karena biaya operasional bandara membebani anggaran HANKAM. Namun ide ini ditolak dari pihak Angkatan Laut.
Pengembangan Bandara Juanda
Oleh karena itu, dibangun bandara dan landasan baru yang terletak di sebelah utara landasan yang lama. Bandara itulah yang hingga saat ini dipakai sebagai salah satu gerbang memasuki Surabaya baik dari penerbangan luar daerah maupun luar negeri sejak 2006.
Akhirnya, pada 14 Februari 2014, bandara ini mendapat sarana baru yaitu dibukanya Terminal 2 (T2) untuk jalur maskapai internasional. Peresmian ini tetap berjalan meski sempat terhalang peristiwa erupsi Gunung Kelud yang dampaknya sampai ke Surabaya.
Selain itu, perseroan juga sedang mengembangkan terminal I Bandara Juanda. PT Waskita Karya Tbk pun ditunjuk untuk menggarap proyek pengembangan senilai Rp 685,5 miliar.
Proyek yang dikerjakan antara lain pembangunan terminal baru seluas 30.000 m2 di sebelah utara Terminal 1 Eksisting.
Kemudian, renovasi terminal eksisting seluas 60.000 m2, termasuk perluasan koridor airside serta perluasan lahan parkir dan beautifikasi tol gate.
(Kezia Priscilla, mahasiswa UMN)
Advertisement