Tanggapan Kriminolog soal Hukuman Kebiri Kimia terhadap Pemerkosa Anak di Mojokerto

Hukuman kebiri kimia menjadi sorotan setelah Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto memutuskan memberi pidana tambahan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yaitu Aris.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Agu 2019, 17:32 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2019, 17:32 WIB
Suntikan dan obat (iStock)
Ilustrasi steroid. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Hukuman kebiri kimia menjadi sorotan setelah Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto memutuskan memberi pidana tambahan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yaitu Muhammad Aris (20), Mojokerto, Jawa Timur.

Selain hukuman kebiri kimia, terpidana juga dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta. Sebelumnya, aksi pelaku sempat terekam kamera CCTV salah satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Kamis, 25 Oktober 2018 sekitar pukul 16.30 WIB. Dan akhirnya pelaku berhasil diringkus polisi pada 26 Oktober 2018. 

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto memutuskan pelaku bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019. 

Kriminolog Universitas Indonesia, Vinita Susanti menilai, hukuman kebiri kimia perlu dikaji ulang. Hukuman kebiri kimia akan berisiko untuk waktu panjang. Memang di sisi lain, pelaku layak mendapatkan hukuman setimpal.

"Kaitan dengan hukuman kebiri kimia perlu dikaji ulang, apakah memang pantas untuk mendapat hukuman tersebut. Karena (hukuman kebiri) akan berisiko dalam waktu panjang," ujar Vinita saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (29/8/2019).

Selain itu, ia menilai, hukuman putusan 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta belum cukup membuat jera pelaku. Apalagi korban kekerasan seksual itu masih anak-anak. Vinita menilai, dampak kekerasan seksual terhadap anak tersebut  mempengaruhi psikologi dan fisik korban. Ketimbang hukuman kebiri kimia, Vinita lebih memilih menerapkan hukuman penjara seumur hidup kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

"Mengingat korbannya banyak dan masih anak-anak, kekerasan seksual ini berdampak sangat besar bagi si psikis dan fisik korban seumur hidupnya. Hukuman yang pantas, yang seberat-beratnya adalah hukuman penjara seumur hidup karena hukuman yang ada sekarang sepertinya belum membuat jera," ujar dia

 

(Tito Gildas, Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kata Pengamat Hukum soal Penerapan Hukuman Kebiri Kimia

Keren, Dokter Ini Bikin Anak yang Disuntik Jadi Tertawa
Ilustrasi suntikan dokter | Via: istimewa

Sebelumnya, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabaya, Yusron Marzuki angkat bicara mengenai pelaksanaan hukuman kebiri kimia untuk terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Mojokerto, Jawa Timur. 

Dia menuturkan, eksekusi hukuman kebiri kimia terpidana yang sudah ditetapkan dalam amar putusan hakim, wajib dilaksanakan oleh eksekutor.

"Eksekutornya adalah jaksa, namun karena jaksa tidak memiliki pengetahuan medis, maka bisa minta bantuan dokter. Bagi Kejaksaan, putusan ini sudah menjadi norma dan sudah mengikat. Maka sebagai eksekutor, jaksa punya kewajiban untuk melaksanakan," tegas dia, Senin, 26 Agustus 2019.

Yusron menilai, penerapan hukuman kebiri kimia memberikan kepastian hukum atas tindakan pelaku. Hal ini bukan berarti dapat memberikan efek jera atau efektif tetapi lebih kepada kepastian hukum.

Terkait dengan pelaksanaan teknis hukuman kebiri kimia, Yusron menyatakan, telah diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (diubah UU nomor 35 tahun 2014).

Ia menuturkan, Perpu itu, pada pasal 81A, mengatur tentang kapan waktu pelaksanaan kebiri kimia harus dilakukan. Pasal 81A menyebut "Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok."

"Jadi, pelaksanaan hukuman tambahan kebiri ini, baru dapat dilaksanakan, kalau si terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Setelah itu, baru dilaksanakan hukuman tambahan, yakni kebiri kimia, dengan ancaman maksimal 2 tahun," ungkapnya.

Saat disinggung jika dokter yang diminta jaksa menolak karena bertentangan dengan prinsip maupun keilmuan kedokteran, Yusron menjawab,  pada prinsipnya tidak ada seorang warga negara pun yang dapat menolak undang-undang atau aturan negara. 

Sebab, jika aturan dalam undang-undang telah 'memerintahkan', semua orang dianggap tahu dan wajib melaksanakan perintah undang-undang tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan, jika dokter tidak setuju dan berencana 'melawan' perintah undang-undang tersebut, dapat menyalurkannya sesuai dengan jalur konstitusi.

"Dokter harus tunduk dan patuh terhadap hukum negara. Kalau dokter tidak setuju atau menolak hukuman kebiri, jalannya bisa melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi prinsipnya, semua pihak wajib melaksanakan aturan undang-undang, tidak bisa menolak," tambahnya.

Jadi, jaksa dianggapnya masih memiliki waktu yang cukup panjang, sambil mempersiapkan perangkat teknis eksekusi. Hal ini mengingat belum ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk eksekusi terkait hukuman kebiri kimia.

"Yang saya tahu dari media, terpidana kan divonis 12 tahun penjara ya. Jadi, setelah masa pidana pokok selesai, baru jaksa melaksanakan hukuman tambahannya. Aturannya demikian, masih ada waktu panjang untuk mempersiapkan," tegasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya