Harapan Merawat Tradisi Imlek bagi Generasi Muda Tionghoa

Semangat berkumpul bersama keluarga saat perayaan Imlek dinilai masih tetap solid meski ada sejumlah tradisi yang dinilai mulai berkurang.

oleh Agustina Melani diperbarui 25 Jan 2020, 08:00 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2020, 08:00 WIB
Imlek Makin Dekat, Warga Tionghoa Sibuk Menghias Kelenteng
Pekerja merapikan Kelenteng Hian Thaian Siang Tee jelang perayaan Tahun Baru Imlek di Jakarta, Kamis (23/1/2020). Warga Tionghoa sibuk menghias dan membersihkan Kelenteng Hian Thaian Siang Tee jelang perayaan Tahun Baru Imlek 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Imlek atau tahun baru China kini bebas dirayakan dengan meriah. Hal ini sejak Gus Dur menjadi presiden mencabut larangan Inpres Nomor 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China dan menerbitkan Inpres Nomor 6/2000.

Meski demikian, sejumlah tradisi  saat merayakan Imlek dinilai mulai luntur. Dosen Arsitektur dan Interior Fakultas Industri Kreatif, Universitas Ciputra Surabaya, Freddy Istanto menilai, perayaan Imlek kini hanya di permukaan. Ia mencontohkan, perayaan Imlek tersebut kini lebih dirayakan sebagai ajang berkumpul seperti makan di pusat perbelanjaan meski semangat berkumpul keluarga masih tetap kuat. Padahal sebelumnya ada doa untuk orangtua dan para leluhur.

"Saya melihat tradisi untuk berdoa mulai luntur. Namun semangat masih solid terutama silaturahmi dan berkumpul bersama dengan keluarga," ujar Freddy saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (25/1/2020).

Freddy pun seperti kembali ke masa lalu ketika perayaan Imlek sekitar tahun 1960-an di Jombang, Jawa Timur. Imlek ketika itu masih bebas dirayakan.

"Saat itu satu kota merayakan, seru banget, ada petasan. Barongsai di jalan. Penghuni rumah meletakkan angpao di tempat yang sulit sehingga barongsai tidak mudah mendapatkannya," kata Freddy.

 

Freddy menilai, salah satu faktor mulai lunturnya tradisi saat perayaan Imlek karena sempat dilarang orde baru dengan terbitnya Inpres Nomor 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Larangan pada masa orde baru tersebut dinilai berdampak terhadap masyarakat Tionghoa.

"Kuatnya politik diskriminasi saat orde baru juga salah satu faktor mulai lunturnya tradisi,” ujar pria kelahiran 1956 ini.

Kemudian ketika Gus Dur menjadi presiden, mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Gus Dur menerbitkan Inpres Nomor 6/2000. Sejak saat itu, masyarakat Tionghoa mulai kembali merayakan tahun baru China.  "Tapi sembayang sudah mulai menyusut. Kepercayaan terhadap hio tidak semua orang mau," kata dia.

Freddy pun kembali menangkap momen perayaan Imlek pada 2005. Saat itu, ia ditunjuk untuk menggagas dan mendesain kya-kya suatu tempat berkumpul di kawasan Pecinan di Surabaya, Jawa Timur. "Momennya ketika seru-serunya kya-kya dan saya jadi suka membuka lembar-lembar literatur kearifan budaya Tionghoa," ujar Freddy.

Ia pun kembali mengajak keluarganya untuk berkumpul bersama merayakan Imlek. Namun, karena seiring zaman dan adanya perubahan kepercayaan membuat dirinya juga harus menyesuaikan tradisi dan budaya Imlek tersebut.

Pada momen Imlek ini, Freddy mengharapkan generasi muda Tionghoa tetap menjaga intisari tradisi dan budaya Tionghoa. Ia menilai, banyak kearifan budaya Tionghoa yang sekarang terbukti dengan keberhasilan China. "Etos kerja keras, hormat pada orangtua, leluhur, para tua, pimpinan, kejujuran, hemat dan nilai-nilai konfisius," ujar Freddy.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya