Liputan6.com, Jakarta - Beda orang, beda selera pula, tentu tidak mengecualikan para tokoh bangsa. Setiap dari mereka membawa kuliner berbeda ke meja makan Istana Negara. Maka itu, Indonesian Gastronomy Community (IGC) menyelenggarakan talkshow "Gastronomi Istana Negara dari Masa ke Masa" untuk mengulik preferensi sajian dua sosok proklamator dan dua presiden Republik Indonesia.
Cucu Soekarno Putri Guntur Sukarno berbagi bahwa ia banyak mendengar cerita seputar gastronomi Istana Negara dari neneknya, Fatmawati. "Bu Fatmawati terjun langsung ke dapur mempersiapkan jamuan kenegaraan. Beliau memang senang masak, dan sebagai orang Bengkulu, masakannya bercitra rasa Sumatra, seperti gulai pakis dan rendang," bebernya di talkshow yang berlangsung di Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.
Preferensi kuliner Bung Karno, Putri menyambung, sangat sederhana, karena saat itu merupakan masa perjuangan. "Tidak bisa cari makanan terlalu rumit," kata dia. "Bung Karno itu makannya cepat, sepertinya terbiasa demikian karena beliau pernah dipenjara."
Advertisement
Sayur lodeh, tempe bosok, dan tempe bacem diingat Putri sebagai manu jamuan tamu di kediaman kakek-neneknya. Sedangkan menu sarapan Bung Karno adalah nasi putih dan telur ceplok pakai kecap Blitar Sie Wie Bo yang kini sudah tidak diproduksi lagi. Sesekali, Bapak Proklamator memilih menu roti bakar dioles mentega sebagai opsi lebih simpel.
"Bung Karno selalu menjadikan kuliner Indonesia sebagai diplomasi pangan, sehingga terus ditampilkan di konferensi-konferensi kenegaraan," Putri menyambung. Di Konferensi Asia–Afrika pada 1955, misalnya, sebagai anggukan pada kota tuan rumah, yakni Bandung, Jawa Barat, Soekarno meminta seluruh sajiannya bernuansa Sunda.
"Jadi ada rengginang, peuyeum, dan opak. Buahnya juga buah Indonesia," ia mengatakan. "Bicara soal buah kesukaan Bung Karno, beliau sangat suka makan mangga setelah makan. Beliau secara spesifik meminta mangganya dikupas setelah makan, supaya masih segar. Sawo juga beliau suka."
Mustika Rasa Jadi Peninggalan Bung Karno
Tidak hanya kecap yang jadi jejak tanah kelahiran di gastronomi ala Bung Karno, tapi juga pecel. Putri bercerita, "Pecel Mbok Rah itu salah satu favorit Bung Karno. Saya ingat itu sebagai pecel panggul, jadi kalau di Blitar, kami akan duduk di emper menunggu nasi pecel racikan Mbok Rah."
Selain makanan, ada pula minuman favorit Soekarno. "Kopi," Putri berkata. "Bung Karno suka Kopi Liong khas Bogor, dan sukanya minum kopi manis. Jadi satu sendok bubuk kopi hitam akan ditambahkan 1,5 sendok gula."
Cucu Soekarno itu mengatakan bahwa kakeknya sangat serius mendorong Indonesia mencapai kedaulatan pangan. "Setiap makan, di samping nasi itu harus ada makanan pendamping, supaya tidak bergantung pada beras. Ubi, ketela, jagung, dan sagu harus jadi bagian kedaulatan pangan Indonesia," ucap dia.
Saking serius, Bung Karno meninggalkan warisan buku "Mustika Rasa," yang menurut Putri, tidak hanya sebagai dokumentasi resep makanan-makanan Indonesia. "Nutrisi dalam bahan-bahan masakan di sana juga tertera, jadi seharusnya tidak ada orang kelaparan di Indonesia," tandasnya.
Advertisement
Adab Makan Bung Hatta
Gemala Ra'biah Hatta mengingat ayahnya, Mohammad Hatta, sebagai orang yang tidak hanya memperhatikan menu makanan di atas meja, namun juga adap menikmati sajian-sajian tersebut. "Sejak kecil, ayah sudah dibiasakan makan dengan tertib, pakai sendok-garpu dengan baik dan tidak berbicara saat masih ada makanan di dalam mulut," ungkapnya di kesempatan yang sama.
Palet rasa Bung Hatta kecil, sebut Ra'biah, didominasi masakan Minang dan Palembang. Namun, itu berkembang seiring pengalaman hidup yang kemudian memengaruhi preferensi makanannya. Ia menyukai lidah sapi goreng kering yang ditaruh di atas telur ceplok.
Bung Hatta juga suka menyantap sayur urap gaya Banda Neira, tempat ia pernah diasingkan selama enam tahun, yang dicampur dengan kenari. "Ayah juga suka sambal lingkung," kata Ra'biah, menandakan langgengnya cita rasa yang dicicip Bung Hatta saat kecil.
Di samping itu, Bung Hatta menyukai kudapan berupa ketan srikaya dan ampiang dadih. Keduanya merupakan penganan khas Sumatra Barat.
Masakan Medok Favorit BJ Habibie
Sementara itu, cucu BJ Habibie, Nadia Habibie, bercerita bahwa makanan di meja makan Wisma Habibie-Ainun, kediaman nenek dan kakeknya, merupakan contoh sempurna dari harmonisnya cerita cinta mereka. "Eyang Habibie, yang dibesarkan dari orangtua yang tinggal di Sulawesi, sangat suka (makanan) asin dan pahit," sebut dia.
"Eyang Ainun dari Jawa, walau lama tinggal di Bandung, punya selera rasa cenderung manis," Nadia menyambung. "Selera dan kepribadian mereka sebenarnya sangat berbeda, tapi mereka selalu punya cara untuk menyelaraskannya."
Sajian di kediaman nenek dan kakeknya sering kali berupa opor, yang menurutnya cenderung manis, dan sayur lodeh. "Kamudian, ada bubur manado dipasangi ikan asin, favorit Eyang Habibie, tahu dan tempe goreng yang asin, lalu kerupuk sedikit gosong supaya ada rasa pahit."
Nadia juga bercerita bahwa Habibie sangat suka makan pare. "Semua sajian itu akan ditutup sambal dengan banyak jeruk limau untuk memberi rasa segar, sebagai palate cleanser," ucapnya.
Karena sempat tinggal di Jerman, Nadia mengatakan, kakeknya juga menggemari beberapa makanan dari sana. "Eyang Habibie suka kotelett, knorr, dan maggi, makanya kalau lagi kangen makanan Jerman, beliau akan pergi ke restoran western," kata dia.
Nadia berbagi bahwa preferensi rasa makanan kakeknya yang medok juga terefleksi pada kepribadiannya yang berani. "Di rumah eyang itu jadi kalau asin, asin banget. Manis juga manis banget," tutupnya.
Advertisement
Gus Dur Sebagai Bank Gastronomi
Inayah Wulandari Wahid mengatakan ayahnya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, adalah "bank gastronomi" itu sendiri, karena gemar makan. "Secara khusus, Gus Dur suka makanan kaki lima," sebutnya. "Gus Dur kan tidak bisa melihat, jadi saat jalan darat dari Jakarta, dia bakal tanya sudah sampai mana, terus bilang, 'Sekitar sekian meter lagi ada warung makan, ininya (menyebut menu spesifik) enak banget."
Penjelajahan kulinernya sempat terkungkung setelah masuk Istana Negara, sebut Inayah. "Masuk Istana, makannya jadi tidak bisa seenak hati. Karena Pak Harto tidak tinggal di Istana, jadi peralatannya memang tidak ada. Saya ingat hari-hari pertama itu kami akan dikirimi makanan dari hotel terdekat," bebernya.
"Menunya sayur lodeh lele goreng, terus sayur asam ayam goreng, besoknya sayur lodeh ayam goreng, terus sayur asam lele goreng, mutar saja di situ," kenangnya. "Tapi untungnya buat Gus Dur itu makanan cuma dua: enak dan enak banget. Paletnya Gus Dur terlatih untuk makan macam-macam."
Inayah mengatakan bahwa esensi gastronomi tidak hanya soal rasa, tapi autentisitas dan perasaan. "Bukan di meja makan Istana Negara, tapi makanan-makanan yang dibawa pulang ayah-ibu saya setelah menemui warga."
Maka itu, Gus Dur selalu mengatakan bahwa sebelum yang lain, sumber makanan harus kuat. "Dari mana makanan itu berasal, harga bahan dan rempah harus diatur dengan baik. Para pelakunya juga penting banget, karena mereka yang menyokong negara ini. Makanan merupakan sumber kekuatan, dan negara kuat butuh kedaulatan pangan," tutupnya.