Survei: Media Sosial Jadi Sumber Utama Penyebaran Hoax

Hasil survei Masyarakat Telematika Indonesia mengungkapkan media sosial menjadi menjadi sumber utama peredaran hoax. Kamu setuju?

oleh Andina Librianty diperbarui 13 Feb 2017, 16:15 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2017, 16:15 WIB
Ilustrasi hoax
Ilustrasi hoax. (via: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) merilis survei tentang informasi palsu (hoax) yang tengah marak di Tanah Air. Dari hasil survei itu, diketahui media sosial menjadi sumber utama peredaran hoax.

Proses survei dilakukan secara online dan melibatkan 1,116 responden. Sebanyak 91,8 persen responden mengatakan berita mengenai Sosial-Politik, baik terkait Pemilihan Kepala Daerah atau pemerintah, adalah jenis hoax yang paling sering ditemui, dengan persentase di media sosial sebanyak 92,40 persen.

Selain itu, 62,8 persen responden mengaku sering menerima hoax dari aplikasi pesan singkat seperti Line, WhatsApp atau Telegram.

Saluran penyebaran hoax lainnya adalah situs web 34,9 persen, televisi 8,7 persen, media cetak 5 persen, email 3,1 persen dan radio 1,2 persen. Sebanyak 96 persen responden juga berpendapat hoax dapat menghambat pembangunan.

"Hoax sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik dan kian marak lantaran faktor stimulasi seperti Sosial Politik dan SARA. Hoax ini juga muncul karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh," ujar Ketua Umum Mastel, Kristiono, saat ditemui di kawasan Jakarta, Senin (13/2/2017).

 Ketua Umum Mastel, Kristiono (Foto: Andina Librianty / Liputan6.com)

Dalam survei yang sama juga diungkapkan 90,3 persen responden menjawab bahwa hoax adalah berita bohong yang disengaja, 61,6 persen mengatakan hoax adalah berita yang menghasut, 59 persen berpendapat hoax adalah berita tidak akurat, dan 14 persen menganggap hoax sebagai berita ramalan atau fiksi ilmiah.

Selain itu, 12 persen mengatakan hoax adalah berita yang menyudutkan pemerintah, 3 persen menjawab "berita yang tidak saya sukai", dan hanya 0,6 responden tidak tahu mengenai hoax.

Ketidakjelasan sumber berita membuat 83,2 persen responden langsung memeriksa kebenaran berita itu, serta 15,9 persen langsung menghapus dan mendiamkannya. Hanya 1 persen responden menyatakan langsung meneruskan berita tersebut.

Dari data itu, Kristiono menilai responden sudah cukup kritis karena mereka telah terbiasa memeriksa kebenaran berita. "Ini artinya sudah bagus. Tinggal bagaimana mencegah kelompok silent majority berpindah menjadi haters," tuturnya.

Survei tentang wabah hoax nasional ini melibatkan responden dengan rentang usia 25 sampai 40 tahun sebanyak 40 persen, di atas 40 tahun 25,7 persen, 20 sampai 24 tahun 18,4 persen, 16 sampai 19 tahun 7,7 persen, dan di bawah 15 persen 0,4 persen. Survei berlangsung selama 48 jam sejak 7 Februari 2017.

(Din/Why)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya