Pengamat: Spektrum 2,3GHz Harus Segera Dilelang Bersama 2,1GHz

Pembahasan frekuensi 2.100MHz sebetulnya sudah selesai, tetapi pembahasan frekuensi 2.300MHz masih terganjal masalah hukum.

oleh Iskandar diperbarui 05 Jun 2017, 14:30 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2017, 14:30 WIB
BTS. Dok: ckn.io
BTS. Dok: ckn.io

Liputan6.com, Jakarta - Peraturan menteri (permen) mengenai lelang frekuensi 2.100MHz (2,1GHz ) dan 2.300MHz (2,3GHz) yang rencananya ditandatangani akhir Mei 2017 dipastikan molor.

Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna mengatakan permen tersebut rencananya ditetapkan pada Juni 2017.

Meski demikian, terkait proses seleksi, pihaknya harus kembali mengecek apa akan dilakukan saat bulan puasa atau setelah Lebaran. "Enaknya sih sebenarnya setelah Lebaran," timpalnya.

Pembahasan frekuensi 2.100MHz sebetulnya sudah selesai. Namun, pembahasan atau konsultasi publik masih terganjal masalah hukum karena frekuensi 2.300MHz lebih bervariasi.

Pengamat hukum Universitas Trisakti Asep Iwan Irawan menuturkan spektrum 2.300MHz seharusnya bisa segera dilelang bersama 2.100MHz karena pokok permasalahan dalam kasus Corbec sudah jelas dan bisa segera dituntaskan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Ia berharap Kemkominfo bisa segera menjalankan amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) No. 37/G/2009/PTUN-JKT karena sudah diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung (MA).

"Siapa pun harus menghormati putusan yang telah dibuat oleh lembaga peradilan dan Mahkamah Agung. Tinggal pemerintah jalankan saja amar putusan PTUN yang diperkuat dengan putusan MA," ujar Asep melalui keterangannya, Senin (5/6/2017) di Jakarta.

Sementara, Guru Besar Tetap Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Anna Erliyana juga menuturkan hal senada. Pasalnya, putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan harus dijalankan segera oleh Kemkominfo.

"Kemkominfo semestinya berpegang pada putusan MA. Seharusnya Kemkominfo menjalankan putusan PTUN tersebut sehingga memberikan kepastian hukum bagi Corbec," paparnya.

Putusan PTUN No. 37/G/2009/PTUN-JKT menyebutkan bahwa Kemkominfo diminta untuk menerbitkan izin penyelengaraan Jaringan Tetap Lokal Berbasis Packet Switched dengan cakupan jaringan nasional.

Penyelenggaraan itu untuk layanan voice dan data dengan jaringan tetap dan bergerak, yang mana mempunyai hak dan mendapat jaminan dari pemerintah dapat terhubung dengan jaringan lainnya atau mendapat interkoneksi dari penyelenggara lainnya dengan menggunakan kode akses (0)86X(Y).

Dalam putusan MA itu juga diperintahkan agar Kemkominfo memberikan alokasi frekuensi radio Broadband Wireless Access (BWA) untuk cakupan nasional. Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih menyambut baik jika Kemkominfo mau segera menjalankan amar putusan PTUN yang juga diperkuat putusan MA.

Alamsyah menjelaskan, Ombudsman tidak mempermasalahkan alokasi frekuensi yang akan diberikan oleh Kemkominfo kepada Corbec.

Dalam rekomendasi yang dibuat Ombudsman sebelumnya dalam kasus Corbec--khususnya yang mengenai alokasi frekuensi di 2.100MHz--waktu itu menurut Alamsyah dikarenakan frekuensi yang tersedia hanya di 2.300MHz.

Sementara, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi, menyebut bahwa Kemkominfo akan melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri jika mengalokasikan frekuensi 2.300MHz untuk Corbec.

"Sudah ada aturan bahwa frekuensi itu pengalokasiannya melalui lelang. Bila tetap dilakukan pengalokasian tanpa lelang, itu pidana. Pasalnya, Corbec sendiri tidak pernah ikut lelang," ujar mantan komisioner BRTI itu.

Ridwan menyarankan, frekuensi 2.300MHz untuk operator yang benar-benar membutuhkan kapasitas, sekaligus untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.

"Sebaiknya lelang saja sisa 30MHz semuanya agar ada pemain operator seluler tambahan sehingga akan menciptakan kompetisi," pungkas Ridwan.

(Isk/Cas)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya