Ini Cara Facebook Perangi Berita Hoax dan Video Kekerasan

Bagaimana strategi nyata sang raksasa media sosial dalam memerangi peredaran berita hoax dan video kekerasan?

oleh Jeko I. R. diperbarui 17 Jun 2017, 12:00 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2017, 12:00 WIB
Mark Zuckerberg
Mark Zuckerberg, Founder sekaligus CEO Facebook, banyak disalahkan sebagian pihak karena membiarkan penggunanya membagikan tautan berita hoax di Facebook. (Doc: Wired)

Liputan6.com, Menlo Park - Tak cuma lewat aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, LINE, dan kawan-kawannya, peredaran berita hoax (berita bohong), nyatanya juga merambah ranah media sosial (medsos) termasuk Facebook.

Frank Seno, pengamat komunikasi The George Washington University, mengatakan Facebook lebih disoroti dalam hal peredaran berita palsu. Oleh karena itu, para pemain besar medsos lain seperti Google, Twitter, Instagram, harus bertanggung jawab.

"Pasalnya, media sosial bukan sarana netral yang seluruh informasinya dimuat bersifat kredibel. Informasi yang disisipkan bisa saja berisi kebencian atau penipuan," kata Seno sebagaimana Tekno Liputan6.com kutip dari VOA, Sabtu (17/6/2017).

Merebaknya berita hoax dan video kekerasan juga sempat menekan harga saham Facebook. Investor khawatir, ancaman ini bisa mengikis reputasi media sosial terbesar tersebut.

Facebook tentu tak tinggal diam. Langkah awal yang diambil raksasa medsos itu adalah memperkerjakan ribuan pekerja tambahan yang tak hanya untuk memonitor berita hoax, tetapi juga menanggulangi video dengan konten kekerasan.

Langkah tersebut dilakukan menyusul kasus pembunuhan yang streaming langsung via Facebook Live di AS serta siaran langsung tindak bunuh diri di Thailand.

Secara mekanisme, Facebook akan meminimalisasi peredaran berita hoax dengan strategi serupa Google, di mana memblokir informasi hoax dengan menggunakan jaringan AdSense.

Kepada The Wall Street Journal, juru bicara Facebook mengatakan, mereka mulai memblokir laman-laman yang menghadirkan informasi atau berita bohong dari Facebook Audience Network.

Laman-laman itu tak akan bisa ditampilkan di Facebook lantaran telah dikategorikan sebagai informasi menyesatkan, ilegal, atau dianggap sebagai penipu. Dengan demikian, pendapatan iklan dari situs-situs hoax itu bisa dipotong.

"Kami telah memperbarui kebijakan secara eksplisit yang menjelaskan hal ini (pemotongan pendapatan iklan) berlaku untuk situs-situs berita hoax. Kami semangat menegakkan kebijakan dan mengambil tindakan cepat bagi situs dan aplikasi yang dinyatakan melanggar," tutur juru bicara Facebook.

Lebih lanjut, ia mengatakan, tim Facebook terus memantau seluruh calon penerbit untuk mematuhi aturan tersebut.

Bagi situs-situs berita yang dikategorikan menyesatkan atau ilegal, tentunya kehilangan kesempatan untuk muncul baik di Google maupun Facebook merupakan hal yang merugikan. Sebab, kedua perusahaan teknologi itu merupakan dua dari banyak platform terbesar di dunia bagi pengiklan.

Hilary Kramer, penasihat keuangan A&G Capital, mengatakan kesan pertama dari keputusan Facebook menambah 3.000 pekerja untuk memonitor unggahan dan mencari penyebaran berita bohong dari pengguna, adalah langkah yang bijak.

Menurutnya, ini jelas merupakan cara untuk memulihkan hubungan masyarakat dan mencoba memulihkan hubungan dengan pengguna.

(Jek/Cas)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya