Liputan6.com, Jakarta - Satelit memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data penginderaan jauh (remote sensing) dalam jumlah besar yang dapat mendeteksi pergerakan tanah di gunung berapi hampir secara real-time.
Pergerakan tanah ini dapat menjadi penanda aktivitas dan ketidakstabilan gunung berapi yang akan datang. Namun, awan dan gangguan atmosfer serta beberapa hal lainnya dapat menyebabkan noise (kebisingan) signifikan dalam pengukuran pergerakan tanah tersebut.
Berkaca pada hal tersebut, para peneliti di Penn State University telah menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menjernihkan kebisingan itu, yang secara drastis dapat memfasilitasi dan meningkatkan pengamatan gerakan vulkanis secara hampir real-time, serta mendeteksi aktivitas dan ketidakstabilan gunung berapi.
Advertisement
Baca Juga
"Bentuk gunung berapi terus berubah dan sebagian besar perubahan itu disebabkan oleh pergerakan magma bawah tanah dalam sistem pipa magma yang terbuat dari reservoir dan saluran magma," kata Christelle Wauthier, Profesor di bidang Geosains dan peneliti di Institute for Data and Computational Sciences (ICDS) di Penn State University dikutip dari keterangannya via Eurekalert, Minggu (18/10/2020).
Para pakar di bidang geosains telah menggunakan beberapa metode untuk mengukur perubahan tanah di sekitar gunung berapi dan area aktivitas seismik lainnya. Namun, semua metode itu memiliki keterbatasan.
Demikian menurut Jian Sun, peneliti utama yang sedang menempuh program pascadoktoral di bidang geosains dengan sokongan Dean's Postdoc-Facilitated Innovation dari Collaboration Award dari College of Earth and Mineral Sciences.
Para ilmuwan, kata Jian, dapat menggunakan stasiun bumi, seperti GPS atau tiltmeters, untuk memantau kemungkinan pergerakan tanah akibat aktivitas gunung berapi. Namun, ada beberapa masalah dengan metode berbasis darat ini. Pertama, instrumen seperti itu mahal dan perlu dipasang serta dirawat di lokasi.
Kedua, menurut dia, instrumen tersebut hanya akan memberi pengukuran gerakan tanah di lokasi tertentu di mana mereka dipasang. Oleh karena itu, cakupan spasial dari pengukuran tersebut itu sangat terbatas.
Â
Kekurangan data dari satelit
Sementara itu, satelit dan bentuk penginderaan jauh lainnya dapat mengumpulkan banyak data penting tentang aktivitas gunung berapi bagi ahli geosains. Perangkat ini juga, sebagian besar, jauh dari bahaya letusan dan citra satelit menawarkan cakupan spasial pergerakan tanah lebih luas. Namun, metode ini pun memiliki kekurangan.
"Kita bisa memantau pergerakan tanah akibat gempa bumi atau gunung berapi dengan menggunakan sensor jarak jauh RADAR, tapi meskipun kita memiliki akses ke banyak data penginderaan jauh, gelombang RADAR harus melalui atmosfer agar bisa terekam di sensor," ujar Jian.
Jalur propagasi, menurut dia, juga mungkin akan terpengaruh oleh atmosfer itu, terutama jika iklimnya tropis dengan banyak uap air dan awan yang bervariasi dalam ruang dan waktu.
Â
Advertisement
Kelebihan Deep Learning
Menurut penerlitian yang terbit di Journal of Geophysical Research itu, metode Deep Learning yang mereka kembangkan dapat mengambil potongan-potongan data yang jelas.
Dengan demikian, sistem dapat melengkapi celah-celah pada data yang memuat noise dan celah-celah lainnya yang terbentuk akbiat gangguan cuaca dan instrumen lainnya. Dari situ, sistem dapat membangun gambaran cukup akurat tentang tanah dan pergerakannya.
Dengan menggunakan metode Deep Learning ini, para ilmuwan dapat memperoleh wawasan berharga tentang pergerakan tanah, terutama di daerah dengan gunung berapi aktif atau zona gempa dan patahan.
Program ini juga boleh jadi dapat menemukan tanda-tanda peringatan potensial, seperti pergeseran tanah tiba-tiba yang mungkin menjadi pertanda letusan gunung berapi atau gempa bumi yang akan datang.
"Sangat penting bagi daerah yang dekat dengan gunung berapi aktif, atau di dekat tempat terjadi gempa bumi, untuk memiliki peringatan sedini mungkin bahwa sesuatu mungkin terjadi," kata Jian.