Liputan6.com, Jakarta - Pasar smartphone Indonesia naik 11,5 persen pada kuartal pertama tahun 2022 (Q1 2022). Demikian menurut laporan Counterpoint Research.
Terkait hal ini Oppo jadi pemimpin pasar smartphone Tanah Air dengan pangsa 22,3 persen, sementara Vivo mengamankan posisi kedua (20,6 persen).
Baca Juga
Kemudian Samsung menempati posisi ketiga (17,7 persen) di segmen tersebut, sedangkan Xiaomi (14,3 persen) dan Realme (11,1 persen) yang masing-masing masuk ke posisi keempat dan kelima teratas pada kuartal tersebut.
Advertisement
Counterpoint melaporkan, sebagaimana dikutip dari Gizchina, Senin (23/5/2022), alasan di balik peningkatan pasar smartphone di Indonesia adalah pemulihan ekonomi yang dimulai pada paruh kedua tahun 2021.
Berbeda dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, pasar ponsel Indonesia didominasi oleh smartphone kelas menengah di bawah harga Rp 3,5 jutaan. Pasar dibanjiri oleh vendor Tiongkok seperti Oppo, Vivo, Xiaomi, dan realme.
Menurut Counterpoint, Oppo tetap menjadi kontributor terbesar pada Q1 2022 dengan pangsa 22,3 persen, namun keunggulannya atas Vivo dan Samsung telah menyusut.
Seri Y dan V dari Vivo mempertahankan popularitasnya di pasar tingkat bawah dan menengah serta membantu perusahaan memperoleh 20,6 persen pangsa pasar.
Samsung menempati posisi ketiga dalam hal pangsa pasar di Indonesia. Perusahaan mencatat pertumbuhan tahunan 5,1 persen dengan pangsa pasar 17,7 persen.
Di sisi lain, Xiaomi dan Realme merebut posisi keempat dan kelima di pasar smartphone Indonesia dengan pangsa pasar masing-masing 14,3 persen dan 11 persen pada Q1 2022.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Survei: Anak-Anak Habiskan 4,5 Jam Sehari di Layar Smartphone, Rabun Jauh Mengancam!
Di sisi lain, menurut sebuah survei, kebanyakan anak-anak menghabiskan lebih dari 4,5 jam per hari pada perangkat gadget dan hanya 40 menit beraktivitas di luar ruangan.
Artinya, berdasarkan 12 jam sehari, anak-anak menghabiskan lebih dari sepertiga waktunya untuk melihat layar gadget, termasuk smartphone (screentime), dan hanya 6 persen berada di luar ruangan.
Penelitian terhadap 1.500 orangtua, dari anak-anak berusia enam hingga 16 tahun, menemukan bahwa 63 persen dari anak-anak terkadang merasa sulit untuk membawa anak mereka keluar rumah, dengan lebih dari dua dari sepuluh (22 persen) merasa 'sedih' ketika anak mereka menginginkan screen time yang konstan.
Lalu, lebih dari dua pertiga (68 persen) orangtua percaya bahwa anak-anak mereka kecanduan gadget, dengan tujuh dari 10 ingin anak-anak mereka lebih sering keluar. Demikian sebagaimana dikutip dari Mirror, Senin (23/5/2022).
Jajak pendapat yang dilakukan oleh perusahaan perawatan penglihatan HOYA Lens UK dan Irlandia, menemukan 59 persen orangtua tidak menyadari bahwa waktu yang dihabiskan di luar ruangan sebenarnya dapat menunda timbulnya miopi (rabun jauh) pada anak muda.
Profesor Kathryn J Saunders, kepala divisi optometri di Universitas Ulster, mengatakan berjuang untuk mendamaikan manfaat perangkat digital untuk pembelajaran, melawan kekhawatiran anak-anak menjadi 'kecanduan layar', adalah masalah yang diduga mempengaruhi sebagian besar orangtua.
“Kami tahu dari studi penelitian di seluruh dunia tentang lingkungan di mana anak-anak kecil kami tumbuh. Perilaku yang mereka lakukan adalah mendorong miopi terjadi pada usia yang lebih dini dibandingkan generasi sebelumnya, baik di sini di Inggris, maupun di negara lain tempat penelitian telah dilakukan," papar Saunders.
Para peneliti juga telah membuktikan hubungan yang jelas antara rabun jauh dan menghabiskan lebih sedikit waktu di luar rumah di masa kanak-kanak.
“Membawa anak-anak keluar lebih teratur, atau untuk waktu yang lebih lama, pada siang hari adalah cara terbaik bagi orangtua untuk mempromosikan 'diet visual yang sehat'," tutur Saunders.
Ia menambahkan, berada di luar ruangan tak hanya terbukti menunda timbulnya rabun jauh pada anak-anak, tetapi juga akan menjauhkan mereka dari berada di layar yang adiktif, dan itu sangat dikhawatirkan orangtua.
Advertisement
Kekhawatiran Orangtua
Jajak pendapat tersebut juga mengungkapkan tujuh dari 10 orang tua percaya bahwa peningkatan penggunaan teknologi ini akan tetap ada, dengan rata-rata anak berusia enam hingga 16 tahun menghabiskan lebih dari dua jam sehari lebih banyak di dalam ruangan daripada yang mereka lakukan sebelum pandemi.
Hampir dua pertiga (63 persen) khawatir tentang berapa lama anak mereka menghabiskan waktu terkurung di dalam ruangan, dengan tiga perempat (75 persen) mengakui bahwa mereka sadar untuk melindungi penglihatan anak mereka.
Survei yang dilakukan oleh OnePoll selanjutnya mengungkapkan 90 persen orangtua mencoba membatasi screentime, tetapi setengahnya (49 persen) merasa sulit untuk melakukannya.
Meskipun demikian, tujuh dari 10 percaya ada banyak manfaat teknologi bagi anak-anak mereka, termasuk pendidikan, tetap berhubungan dengan teman dan keluarga, serta untuk kreativitas mereka.
Temuan ini muncul setelah penelitian terpisah menemukan menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan dan di depan layar karena pembatasan Covid-19 mungkin juga berdampak pada penglihatan anak-anak.
Studi ini, terhadap lebih dari 120.000 anak di China, menunjukkan bahwa 'kurungan' di rumah selama pandemi Covid-19 tampaknya dikaitkan dengan peningkatan prevalensi miopi untuk anak-anak berusia enam hingga delapan tahun.
Andrew Sanders, direktur layanan profesional di HOYA Lens UK dan Irlandia, yang telah menciptakan lensa MiYOSMART untuk membantu mengurangi perkembangan miopi, mengatakan survei ini dengan jelas menunjukkan bahwa mayoritas orangtua tidak menyadari bahwa waktu yang dihabiskan di luar ruangan dapat menunda timbulnya miopi pada anak-anak.
“Dengan perkiraan lima miliar orang, atau setengah dari populasi global, berpotensi terkena rabun jauh pada tahun 2050. Maka dari itu, sangat penting bagi orangtua untuk didukung dengan informasi yang mereka butuhkan guna memahami manfaat penting membantu anak-anak mereka mencapai diet visual yang sehat," pungkasnya.
Niat Batasi Anak Main Ponsel, Pria Ini Tak Sengaja Putus Jaringan Internet Sekota
Baru-baru ini, seorang pria di Prancis diganjar hukuman penjara setelah secara tidak sengaja memutus jaringan seluler dan Wi-Fi di desanya setiap hari.
Adapun hal ini dia lakukan untuk mencegah anaknya yang sudah kecanduan dengan smartphone, dan mengakses beragam platform media sosial tanpa menghiraukan waktu.
Mengutip laporan France Bleu, Jumat (18/2/2022), pria yang tidak disebutkan namanya itu berusaha menggunakan jammer dengan harapan dapat memutus koneksi internet di rumahnya yang berlokasi di kota Messanges.
Tapi tanpa sepengetahuan dirinya, jammer tersebut juga memiliki cakupan area yang lebih luas sehingga memutus seluruh koneksi seluler dan Wi-Fi di area sekitarnya.
Saat diinterogasi pejabat pemerintah, pria itu mengaku hanya ingin memutuskan koneksi internet ke rumahnya pada malam hari, antara tengah malam hingga jam 3 pagi.
Dia berharap anak-anaknya dapat beristirahat tanpa harus begadang semalaman membuka media sosial. Karena tindakan ini, maka dia terancam hukuman 6 bulan penjara dan denda sebesar 30,000 euro atau sekitar Rp 489 juta.
Di sisi lain, Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk membatasi durasi bermain game online pada anak-anak muda. Hal itu demi mengurangi kecanduan game pada usia muda.
Kantor berita Xinhua melaporkan, di bawah aturan ini, para gamers muda tampaknya hanya akan bisa menghabiskan satu jam bermain game online di hari Jumat, akhir pekan atau Sabtu dan Minggu, serta hari libur.
Mengutip The Guardian, Rabu (1/9/2021), National Press and Publication Administration mengatakan bahwa pemain game di bawah 18 tahun hanya boleh bermain pada jam 8 hingga 9 malam waktu setempat di hari-hari tersebut.
Regulator juga meminta agar perusahaan game online tidak memberikan layanan kepada anak di bawah umur dalam bentuk apapun di luar jam tersebut.
Selain itu, perusahaan juga diminta memastikan telah menerapkan sistem verifikasi nama asli.
Langkah tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut adanya laporan yang mengatakan, anak-anak menggunakan identitas orang dewasa untuk menghindari aturan yang berlaku.
Advertisement