Liputan6.com, Lombok - Pembangunan high throughput satellite Satria 1 ikut terdampak perang Rusia-Ukraina yang terjadi sejak beberapa bulan lalu.
Baca Juga
Direktur Infrastruktur BAKTI Kominfo Bambang Noegroho mengatakan, akibat perang Rusia-Ukraina, produksi komponen dan pengiriman satelit Satria 1 terhambat.
Advertisement
Namun, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) Kominfo sebagai penanggung jawab program satelit Satria 1, mengusahakan agar peluncuran Satria 1 tetap tepat waktu, yakni pertengahan 2023. Satria 1 diharapkan bisa mengorbit dan beroperasi akhir 2023.
“Jadi memang sebenarnya karena ada perang Rusia-Ukraina ada delay, karena memang kita sebenarnya pesawat angkutnya memakai Antonov,” kata Bambang yang karib disapa Nugi, di Lombok, NTB, Kamis (6/10/2022).
Pesawat Antonov yang dimaksud Nugi adalah pesawat Antonov-225 Mriya, pesawat kargo terbesar di dunia milik Ukraina yang hancur dibom Rusia Februari 2022.
Selanjutnya, untuk menyiasati pengiriman satelit Satria 1 ke dari pabrik satelit Thales Alenia Space di Prancis ke pabrik SpaceC di Cape Canaveral, Florida, AS, untuk diintegrasikan dengan roket peluncurnya, BAKTI akan menggunakan jalur laut untuk pengiriman.
“Karena Antonov-nya rusa, rencana kami, satelit itu akan dibawa melalui jalur laut, menggunakan kapal cargo berukuran besar yang bisa memuat satelit,” tutur Nugi.
Nugi mengatakan, proses membawa satelit Satria 1 dari pabrik satelit Thales Alenia Space di Prancis ke Florida, Amerika Serikat, melalui jalur laut membutuhkan waktu 3-4 minggu.
Meski terhambat beberapa minggu, Nugi mengatakan, BAKTI tetap berupaya mengejar agar peluncuran satelit internet cepat Indonesia ini bisa tepat waktu. Dengan demikian, satelit ini bisa beroperasi dan melayani masyarakat Indonesia terutama di daerah 3T pada akhir 2024.
BAKTI Berencana Kembangkan HBS
Satelit Satria-1, sebagaimana diketahui, merupakan satelit Indonesia yang dikembangkan menggunakan teknologi high-throughput satellite (HTS) atau satelit dengan karakteristik internet berkecepatan tinggi.
Jika satelit Satria 1 beroperasi, satelit ini ditargetkan untuk melayani 150.000 titik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang tidak terjangkau layanan terestrial dan kabel serat optik Palapa Ring.
Bersama dengan satelit Satria 1, BAKTI juga merencanakan pengembangan hot backup satelit (HBS) yang ditujukan sebagai satelit back up atau pendukung untuk Satria 1.
“Kami menargetkan itu di Desember bersamaan dengan Satria 1. Jadi kemarin gara-gara ada satelit yang jatuh, pak Menteri memutuskan harus ada backup. Nanti sebetulnya backup-nya menjadi kapasitas yang dipakai. Backup kan biasanya nggak dipakai, ini dipakai,” katanya.
Nugi mengatakan, berbeda dengan Satria 1 yang progressnya terhambat akibat perang Rusia-Ukraina, HBS tidak terdampak perang tersebut.
“Kalau HBS kan produksinya di Boeing, pabriknya di Amerika dan dari Boeing kita menggunakan roket peluncur Falcon 9 Florida, pengirimannya dari Amerika ke Amerika saja, jadi pengirimannya harusnya tidak ada kesulitan dari sisi logistik,” katanya.
Nugi menyebut, saat ini progress satelit HBS masih terkontrol, yakni sekitar 57 persen dari target.
(Tin/Ysl)
Advertisement