Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini Telegram memblokir saluran yang digunakan oleh Hamas, khususnya untuk pengguna Android. Hal ini dilakukan di tengah perang Hamas - Israel yang sedang bergejolak.
Selain itu, tindakan ini diambil setelah saluran seperti hamas_com dan brigade al-Qassam terbukti melanggar pedoman Google Play Store. Keduanya sudah tidak dapat diakses di aplikasi Android, namun masih ada saluran lain seperti Gaza Now yang dapat diakses.
Baca Juga
Telegram sendiri memutuskan memblokir saluran tersebut, mengikuti pedoman toko aplikasi Google, menurut laporan The Jerusalem Post, dikutip dari The Verge, Minggu (29/10/2023).Â
Advertisement
Beberapa pengguna melaporkan bahwa mereka menerima pesan kesalahan yang mengindikasikan bahwa saluran-saluran tersebut tidak dapat diakses melalui "aplikasi Telegram yang diunduh dari Google Play Store."
Ini berarti bahwa aplikasi Telegram yang diunduh dari sumber atau sistem operasi lain kemungkinan masih dapat mengakses saluran tersebut.
Google mengonfirmasi bahwa pemblokiran saluran tersebut berdasarkan kebijakan yang melarang konten kekerasan berkaitan dengan terorisme di dalam aplikasi di platformnya.Â
Baik Meta maupun X alias Twitter juga telah mengambil tindakan serupa untuk membatasi akun-akun terkait Hamas dan mengontrol penyebaran informasi yang salah.
CEO Telegram Pavel Durov, sebelumnya ragu untuk menutup saluran yang digunakan Hamas. Namun, karena Hamas mengggunakan saluran Telegram untuk menyebarkan video serangan, Telegram menindak tegas mereka untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman keamanan dan kebijakan platform.
Kepentingan dalam mengelola konten selama situasi konflik dan perang semakin nyata, terutama seiring dengan adanya peraturan baru seperti Undang-Undang Layanan Digital (DSA) Uni Eropa yang memberikan pemerintah wewenang yang lebih besar untuk mengawasi dan mengendalikan konten di platform-platform besar.
Meskipun Telegram tidak terdaftar sebagai "platform online yang sangat besar" di bawah DSA, tekanan dari pemerintah dan organisasi regional dapat mempengaruhi tindakan perusahaan dalam mengelola konten yang sensitif.
Hamas Gunakan Serangan Siber Rekayasa Sosial untuk Mata-matai Warga Israel
Sebelumnya, Hamas dilaporkan menggunakan serangan siber dengan metode rekayasa sosial untuk memantau warga sipil Israel, demikian seperti dikutip dari TechMonitor.ai, Jumat (13/10/2023).
Konon, grup ini memakai telepon dari sandera Israel yang mereka tahan di Gaza untuk memantau dan mengawasi komunitas online yang bermunculan pasca serangan dadakan akhir pekan kemarin.
Warga Israel dilaporkan terganggu oleh serangan rekayasa sosial tersebut, dan sebagian dari mereka mungkin secara langsung terkena dampak pengawasan yang dilakukan oleh Hamas.
Hal itu diungkapkan oleh Michael Yehoshua, seorang penduduk Tel Aviv yang bekerja di perusahaan keamanan siber HolistiCyber.
"Saya telah diundang ke lebih dari 20 kelompok untuk memberikan bantuan kemanusiaan atau bantuan dalam memecahkan pesan musuh," katanya.Â
Sebagian besar dari kelompok-kelompok ini dipantau oleh Hamas. Mereka menggunakan ponsel para tawanan untuk masuk ke dalam kelompok-kelompok ini dan memantaunya.
Yehoshua juga mengatakan, Hamas mampu menembus kelompok-kelompok itu karena mereka memiliki telepon dari penduduk Israel yang diculik atau mati di tengah pertempuran.
"Mereka juga terhubung dengan kelompok-kelompok baru yang telah dibentuk untuk mendapatkan bantuan, dan mereka mengumpulkan informasi intelijen melalui hal ini," ujarnya.
Perang siber ini berlangsung di waktu yang sama dengan serangan Hamas terhadap Israel, yang telah menelan korban lebih dari 1.200 jiwa dan menyandera lebih dari 150 orang.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negaranya sekarang berperang dengan Hamas, dan serangan udara balasan ke Gaza telah menewaskan lebih dari 500 orang.Â
Advertisement
Upaya Phising
Kampanye phishing juga terdeteksi sebagai upaya untuk mengeksploitasi konflik Israel-Hamas, seperti yang diungkapkan dalam laporan oleh platform keamanan cloud IronScales.Â
Salah satu contohnya adalah email dengan subjek "Keprihatinan dan Ucapan Selamat dari Israel," ditemukan dalam situs internet yang tidak terlindungi anti virus atau semacamnya.
Meskipun terlihat aman, kecerdasan buatan dari perusahaan keamanan siber tersebut berhasil mengidentifikasi tautan di dalam isi email tersebut memiliki potensi bahaya.
"Berbagai bentuk usaha phishing ini dikirim kepada banyak karyawan kami yang berada di Israel," demikian diungkapkan dalam laporan IronScales.
Allen Liska dari perusahaan keamanan Recorded Future menyatakan bahwa upaya disinformasi online terlihat cukup terorganisir dan rapi.Â
"Kami melihat gangguan digital dan penyebaran informasi yang keliru," katanya.
Disinformasi yang dimaksud adalah orang-orang yang membagikan konten seperti video kekejaman, yang pada kenyataannya hanya cuplikan dari video game atau video dari beberapa tahun yang lalu.Â
Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memberikan informasi yang salah maupun tidak relevan dari pihak tertentu.
Serangan Siber Lain yang Menargetkan Israel
Selain itu, serangan siber terbaru Hamas pada Israel mencakup peretasan sistem peringatan darurat Red Alert, yang berfungsi memberi tahu warga mengenai ancaman pengeboman, dan serangan DDoS pada situs berita Jerusalem Post.
Geng hacktivist AnonGhost dilaporkan melancarkan serangan siber ini dan menargetkan warga Israel.Â
Mereka memanfaatkan kerentanan API dalam aplikasi Red Alert, yang berfungsi memberikan peringatan roket secara real-time kepada warga Israel.Â
Selain itu, para peretas juga menyebarkan pesan palsu terkait "bom nuklir," seperti yang diungkapkan oleh peneliti dari perusahaan keamanan Group UIB.
Situs berita terkemuka di Israel Jerusalem Post contohnya, menjadi korban serangan distributed denial of service (DDoS) yang membuat situsnya lumpuh selama lebih dari 24 jam.Â
Meskipun demikian, situs tersebut berhasil pulih pada Rabu 11 Oktober 2023 pagi. Kelompok hacktivist Anonymous Sudan, melalui saluran Telegram, mengklaim tanggung jawab atas serangan ini.
Advertisement