Boediono Sebut Bailout Bank Century Sebagai Opsi Terakhir

"Cari investor juga tidak bisa. Lalu dicari bank BUMN yang bisa dukung likuiditas ke Bank Century itu tidak ada. Satu-satunya ada di BI."

oleh Sugeng Triono diperbarui 09 Mei 2014, 11:31 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2014, 11:31 WIB
Pradjoto
Pemakzulan Wapres Boediono

Liputan6.com, Jakarta Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono mengakui pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) merupakan opsi terakhir yang bisa diambil untuk menyelamatkan Bank Century.

Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (9/5/2014), Boediono menuturkan beberapa langkah telah diambil untuk menyelesaikan masalah Bank Century seperti mendorong penarikan surat berharga dan bisa dicairkan di Indonesia. Namun sayang, surat-surat berharga sudah dibawa pemiliknya ke luar negeri.

"Cari investor juga tidak bisa. Lalu dicari bank BUMN yang bisa dukung likuiditas ke Bank Century itu tidak ada. Satu-satunya ada di BI. Diputuskan dengan Menkeu, akhirnya kami menggunakan terakhir yang bisa digunakan yaitu FPJP," ungkapnya saat menjadi saksi mantan Deputi Gubernur BI.

Wakil Presiden Indonesia itu menjelaskan, pemberian FPJP ke Bank Century diambil agar Indonesia tidak terseret ke dalam krisis yang terjadi pada 1998.

Boediono menjelaskan kondisi yang terjadi pada 2008-2009 hampir sama dengan 1998. Saat itu penarikan uang besaran-besaran terjadi. Bahkan pada Oktober-November tercatat uang sebesar US$ 3 miliar ke luar dari Indonesia karena Indonesia tidak menerapkan blanket guarantee seperti Asutralia, Singapura dan Hongkong.  Para deposan menarik uang dan membawa uang ke negara yang menerapkan blanket guarantee.

Penarian uang itu membuat likuiditas perbankan menjadi seret. Pasar uang antar bank macet, bank satu dengan bank lain tidak bisa percaya padahal pada kondisi normal, bank yang memiliki ekstra likuiditas bisa memberikan kucuran dana ke bank lain.  

"Saya sudah tahun lebih tangani ekonomi. Saya sangat yakin kalau ada satu bank jatuh pada Oktober-November 2008, maka krisis yang terjadi pada 1997-1998 akan terulang. Biayanya luar biasa besar. Tidak cuma kerugian uang yang diberikan pemerintah. Kerugian yang lebih besar dari segi sosial politik itu terjadi perubahan yang luar biasa dan itu menghabiskan biaya besar," papar dia. (Nurseffi Dwi Wahyuni)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya