Liputan6.com, Jakarta - Langkah pemerintah terkait wacana pengenaan cukai terhadap beberapa produk seperti telepon seluler, komputer genggam, komputer tablet hingga minuman berkarbonasi dan berpemanis dinilai telah menyalahi filosofi cukai.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menilai pemerintah saat ini telah keluar dari patron filosofi penarikan cukai demi mengejar penerimaan negara.
"Ada setting yang salah di sini. Cukai itu bukan instrumen utama dalam penerimaan negara," ujar Latif dalam keterangannya di Jakarta, Senin (6/10/2014).
Latif mengungkapkan, cukai seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol konsumsi suatu produk atau barang. Menurut dia pemerintah saat ini menggunakan pendekatan parsial dalam mengoleksi penerimaan negara.
Menurut Latif, saat ini memasang strategi, bila tidak memenuhi target pajak maka instrument cukai yang dimainkan. Kritik Latif, dalam menggenjot penerimaan Negara ini, pemerintah menggunakan pendekatan parsial. “Pemerintah menggunakan perspektif kacamata kuda,” ujarnya.
Padahal, semakin ekspansif kenaikan cukai terhadap produk tertentu, dapat berimplikasi pada penurunan pendapatan dari sumber penerimaan negara lainnya seperti pajak. "Ini istilahnya masuk kantong kiri keluar kantong kanan," katanya.
Berdasarkan data RUU APBN 2015 yang disahkan pekan lalu melalui Rapat Paripurna DPR RI, target tahun 2015 untuk penerimaan cukai sebesar Rp 126,75 Triliun. Sementara untuk cukai tembakau ditargetkan sebesar 120,5 triliun.
Dia menambahkan, ketika target penerimaan negara tercapai, cukai yang dimainkan, meski itu mempunyai dampak diametral terhadap penerimaan pajak itu sendiri dan dampak daya saing dari industri.
Permasalahan cukai bisa semakin menyulitkan dunia usaha karena kebijakan kenaikkan cukai itu tidak diiringi upaya pemerintah untuk menjaga dan mengembangkan eksistensi industri penyumbang cukai.
“Bahwa pemerintah ekspansi cukai/pajak tetapi tidak pernah memperjuangkan eksistensi industri nasional. Menurut saya yang paling penting adalah suistanibility industri,” tegasnya.
Latif juga mengritik langkah kementerian satu dengan kementerian lainnya tidak sinergis. Menurutnya, Kemenkeu tidak ada koordinasi dengan Kemenperin terkait dampak bagi keberlangsungan industri jika Kemenkeu terlalu ekspansi mencari penerimaan cukai pajak. “Kebijakan cukai ini justru menggerogoti industry nasional,” tegasnya.
Salah satu industri yang terus tergerus imbas kenaikkan cukai adalah industri berbasis tembakau. Sebelumnya, peneliti FISIP UI, Syamsul Hadi menyatakan kenaikan cukai rokok telah menyebabkan industri rokok semakin tidak berdaya.
Syamsul menegaskan, pemerintah sebaiknya meninjau kembali aspek kelangsungan hidup petani tembakau dan cengkeh sebelum akhirnya meningkatkan cukai tembakau. Saat ini banyak sekali petani tembakau yang kehilangan sumber penghasilannya dan terpaksa beralih ke pertanian lain yang bukan keahlian mereka.
Menurut Syamsul, memang sejak 2008, dana Cukai Hasil Tembakau telah diatur untuk dialokasikan ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH-CHT). Alokasi ini bertujuan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dia mengusulkan, sebaiknya dana tersebut dibagi dalam porsi tertentu kepada para petani tembakau dan cengkeh, apakah dalam bentuk penyuluhan entrepreneurship ataupun pembelian bibit tembakau d imana hasilnya bisa diekspor.
Hal ini sudah dilakukan PTPN X dengan mengekspor rokok kretek ke Cina. “ Jika memang konsumsi tembakau ingin dibatasi di Indonesia," tandas dia. (Dny/Nrm)