Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu mengimbau pemerintah lebih baik mengurangi dividen perusahaan pelat merah ketimbang menghapusnya. Namun kebijakan itu harus diterapkan untuk BUMN yang sangat strategis.Â
Â
"Dikurangi, dirasionalkan dividennya terhadap BUMN yang punya eskternalitas besar dan strategis supaya tetap bisa berkembang," ujar Mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (4/12/2014).Â
Â
Said menjelaskan, perusahaan pelat merah yang mempunyai eksternalitas maksudnya yang memberikan dampak besar terhadap masyarakat, seperti BUMN perkebunan.Â
Â
"Sedangkan BUMN strategis yang harus dikurangi dividennya, yang bergerak di sektor pelabuhan, bandara, juga PT Pertamina (Persero), PT PGN Tbk maupun BUMN perbankan," terang dia.Â
Â
Menurutnya, pungutan dividen BUMN saat ini sudah terlampau tinggi dengan pay out ratio hampir 50 persen ke atas. Sementara idealnya, rata-rata setoran dividen 30 persen dari realisasi laba per tahun. Â
Â
"Misalnya Pertamina yang dipungut dividen terlalu tinggi, sehingga utangnya kemana-mana," ujar dia.Â
Â
Pengurangan setoran dividen, lanjut Said, pernah direalisasikan pada 2006. Pemerintahan saat ini menarik dividen BUMN perkebunan rata-rata hanya 15 persen sampai 20 persen, dan perbankan pelat merah maksimal 25 persen.Â
Â
"Pernah juga nggak ambil dividen PT Jamsostek dan PT Askes karena memang untuk rakyat," terangnya.Â
Â
Lalu apa dampak positifnya bagi BUMN dan negara jika dividen dikurangi?. Diakui Said, dengan penahanan dividen di perusahaan, maka BUMN tersebut akan mempunyai keuangan kuat untuk menggarap proyek dan ujung-ujungnya dapat mendorong perekonomian Indonesia.Â
Â
"Jika dividen Rp 1 triliun dimasukkan ke kas negara, maka tetap akan Rp 1 triliun. Kalau ditaruh di BUMN, maka dengan Rp 1 triliun itu, mereka bisa bangun bandara, pelabuhan senilai Rp 4 triliun karena mampu mendapatkan pinjaman dari perbankan, karena biasanya porsi kerjasama dengan bank 30:70," tutur dia. (Fik/Nrm)