Liputan6.com, New York - Kekacauan finansial yang merudung Rusia saat ini tampak sebagai gejala goncangan yang lebih luas ke seluruh pasar keuangan dunia. Anjloknya harga minyak dan penurunan tingkat inflasi bangsa Barat kini semakin parah dan melebar ke portofolio para investor.
"Tak ada negara yang kebal, dan hingga negara-negara menemukan keseimbangan bagi harga minyak di dunia, seluruh negara akan menghadapi volatilitas yang tinggi," ungkap pakar strategi pasar global di JP Morgan, Nikolaos Panigirtzoglou seperti dikutip dari Reuters, Kamis (18/12/2014).
Tidak berbeda dengan penularan krisis finansial global di akhir 1990-an dan pada 2008, pertumbuhan interpendensi keuangan dunia berarti aktivitas ekonomi di satu wilayah dapat memicu reaksi berantai. Ini lantaran sebagian dari pengelola keuangan mendorong menjual aset menguntungkan dari portofolionya untuk menutupi kerugian.
Advertisement
Anjloknya mata uang, saham dan obligasi Rusia saat ini sudah bisa dirasakan di pasar-pasar kredit di berbagai negara. Kondisi perdagangan di berbagai aset kini tengah terguncang dan likuiditas mulai mengering.
Tak hanya itu, penguatan dolar hingga 10 persen dalam enam bulan terakhir tahun ini telah menekan banyak mata uang lain. Potensi perubahan kebijakan moneter AS juga menjadi kecepasan pasar.
Namun para ekonom dunia yakin, seberapa hebat negara-negara mengatasi kekacauan finansialnya, tak akan ada perubahan hingga harga pasar stabil.
"Penurunan harga minyak merupakan faktor terbesar di sini. Penurunan tersebut merupakan masalah utama bagi para pembuat kebijakan dan persoalan bagi dunia karena faktor tersebut dapat menciptakan penurunan tingkat inflasi," ungkap Panigirtzoglou.
Sejauh ini dampak penurunan harga minyak telah dirasakan di seluruh negara yang berperan sebagai eksportir minyak. Rusia yang juga tengah mendapatkan sanksi ekonomi Barat juga menjadi negara yang menerima hantaman paling keras.
Ekonomi Rusia bahkan baru bisa pulih jika harta minyak kembali ke kisaran US$ 100 per barel.
Terlebih saat ini ruble ambruk hingga ke level terendah dengan pelemahan sebesar 20 persen hanya dalam waktu sepekan. Pemerintah Rusia telah berupaya mengatasi keruntuhan tersebut dengan menaikkan suku bunga sebesar 650 basis poin (bsp) hanya dalam semalam.
Volatilitas tersebut juga terjadi di negara-negara bersar seperti Jepang dan Eropa.
"Ini tampak seperti krisis G10 seperti yang terjadi di negara berkembang," ujar Head of Emerging Market Strategy di Societe General Benoit Anne. (Sis/Ndw)