DPR Minta Pemerintah Hentikan Impor Alumunium

Kebutuhan alumunium di Tanah Air masih sangat tinggi.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 04 Agu 2015, 14:32 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2015, 14:32 WIB
proses pengecoran alumunium
proses pengecoran alumunium

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir meminta pemerintah agar menyetop impor alumunium. Sebab saat ini, sudah sebanyak 40 persen produksi alumunium menguasai Indonesia.

Hafisz mengungkapkan, sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi), DPR terus menggelontorkan dana, yakni penyertaan modal negara (PMN) demi membesarkan perusahaan pelat merah tersebut.

“Inalum sudah di-support Komisi VI sejak pemerintahan SBY sampai Jokowi dengan menggelontorkan PMN sebesar Rp 6,7 triliun. Kini sudah terlihat hasilnya, yaitu produksi alumunium sudah 40 persen kuasai pasar Indonesia, dan saham Inalum sudah dikuasai mayoritas oleh Indonesia,” kata Hafisz dalam keterangannya, Selasa (4/8/2015).

Dengan begitu, ia menegaskan kebutuhan terhadap alumunium di Tanah Air masih sangat tinggi, terlebih ketika melihat pasar di Indonesia. Untuk mengatasi persoalan tersebut, jelas dia, peran pemerintah dan Inalum sendiri sangat diperlukan.

“Jadi kebutuhan kita terhadap alumunium masih banyak. Ada pasar sekitar 60 persen lagi yang akan diperbutkan oleh pemain lokal dan internasional. Nah di sini peran Inalum sangat ditunggu. Maka itu pemerintah harus menyetop impor aluminium jadi. Serahkan saja kepada produsen dalam negeri supaya PT Inalum terus kuat,” jelasnya.

Dijelaskan, keharusan impor tersebut karena masih ada 60 persen lagi kebutuhan domestik yang belum terpenuhi oleh Inalum. Hal itu kata dia, bisa diatasi dengan penambahan modal Inalum.

“Modal Inalum perlu tambah, atau cari pinjaman komersial. Terus bahan baku perlu diperluas lagi sumbernya,” ujarnya.

Modal diberikan guna melengkapi fasilitas-fasilitas untuk pengelolaan alumunium, termasuk yang paling utama adalah pabrik alumunium yang mencapai hingga triliunan rupiah. Kebutuhan dana besar tersebut bisa melalui cara agar negara memberikan PMN, namun juga bisa dengan cara meminjam ke bank dengan bunga komersial.

“Jadi melihat besarnya kebutuhan itu, satu pabrik bisa mencapai 10 triliun,” jelasnya. (Yas/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya