Mari Pangestu: Ekonomi Kreatif Jadi Kekuatan Baru RI

Mantan Menteri Perdagangan, Mari Pangestu menekankan Indonesia membutuhkan kreativitas, ide kreatif dan inovasi sebagai kekuatan baru.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 09 Agu 2015, 12:00 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2015, 12:00 WIB
Mari Elka Pangestu
Mari Elka Pangestu (Liputan6.com/Panji Diksana)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dikukuhkan menjadi Guru Besar Tidak Tetap di Ekonomi Internasional, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) pada Sabtu 8 Agustus 2015.

Dalam pidatonya berjudul "Globalisasi, Kekuatan Ekonomi Baru dan Pembangunan Berkelanjutan: Implikasi bagi Indonesia, Mari menuturkan, ekonomi kreatif adalah kekuatan baru ekonomi Indonesia untuk menjawab tantangan globalisasi dan mencapai pembangunan berkelanjutan.

Ia mengatakan, Indonesia membutuhkan diversifikasi sumber kekuatan baru sebagai sumber pembangunan ekonomi dengan tetap mempertahankan konsep pembangunan berkelanjutan. Itu untuk menghadapi berbagai perubahan tatanan ekonomi dunia.

Indonesia membutuhkan kapabilitas jauh lebih beragam karena di masa mendatang, negara seperti ini yang mampu menghadapi dinamika persaingan makin ketat. "Potensi terbesar itu adalah pada ekonomi kreatif," kata Mari, seperti dikutip dari keterangan yang diterbitkan, Minggu (9/8/2015).

Mari menilai, ada beberapa perkembangan yang perlu dicermati antara lain perubahan berdasar dalam tatanan ekonomi dunia saat ini. Dinamika yang terjadi beberapa waktu ini juga menunjukkan kalau sektor komoditas kian sulit diandalkan.

"Perlambatan pertumbuhan dunia yang tengah terjadi bukan hanya karena siklus ekonomi semata, tapi karena telah berakhirnya boom komoditas," ujar Marie.

Karena itu, Indonesia juga perlu meningkatkan diversifikasi sumber pertumbuhan termasuk di ekspor. Salah satunya dengan memupuk sumber daya saing dan membangun sumber pertumbuhan baru.

Indonesia membutuhkan pendekatan baru dalam membangun daya saing. Pendekatan industrialisasi dengan membangun kekuatan baru dari hulu sampai hilir seperti selama ini sudah tidak cukup lagi.

Daya saing tidak lagi diukur dari biaya produksi seperti upah tenaga kerja murah dan keberadaan bahan baku, tapi juga sektor lain seperti jasa logistik yang efisien.

"Perkembangan teknologi dan dunia kian terintegrasi telah membuat sistem produksi semakin terfragmentasi. Persaingan kini tidak hanya menuntut harga produksi murah tapi besaran nilai tambah yang ditawarkan," kata Mari.

Karena itu, proses produksi yang terbagi dalam serangkaian gugus tugas (tasks) seperti penelitian dan pengembangan, desain, proses produksi, pengemasan, pengujian produk, pemasaran dan seterusnya perlu dibangun dan dikembangkan dalam satu kesatuan mata rantai nilai tambah global.

"Dalam pendekatan terbaru ilmu ekonomi mengandalkan modal dan teknologi tidak lagi cukup untuk mempertahankan daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Ini juga membutuhkan kreativitas, ide kreatif dan inovatif. Modal ekonomi terbaru telah memasukkan kreativitas sebagai faktor endogen. Implikasinya, pendekatan pembangunan mulai beralih dari berbasis teknologi infomasi dan pengetahuan ke berbasis kreativitas dan inovasi atau dikenal sebagai ekonomi gelombang keempat," jelas Mari.

Mari pun menawarkan suatu model holistic pengembangan ekonomi kreatif yang menjadi pertemuan antara kreativitas, modal budaya, sosial dan ekonomi. Ia menilai, demografi Indonesia pun mendukung perkembangan kreativitas itu mengingat jumlah penduduk 250 juta, 50 persen di antaranya tergolong usia sangat produktif di bawah usia 30 tahun.

"Tinggal mendorong kreativitas baik melakui pendidikan formal, non formal dan informal serta pengembangan talenta," ujar Mari Pangestu. (Yas/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya