Liputan6.com, Jakarta - Meski terjadi perlambatan ekonomi dan pelemahan nilai tukar rupiah hingga menembus level 14.000 per dolar, Bank Indonesia (BI) memastikan ekonomi Indonesia saat ini belum masuk dalam fase krisis.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi dalam acara bincang sore bertema "Rupiah dan Nasib Ekonomi Indonesia" di SCTV Tower, Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Menurut dia, orang sering mengaitkan kondisi saat ini hampir sama dengan masa krisis 1998 hanya karena posisi rupiah terhadap dolar sama-sama anjlok ke level terendah.
"Saya sering gunakan istilah ilusi level nilai tukar. Artinya, rupiah sekarang pada posisi 14.000 per dolar AS, kemudian orang melihat karena Rp 14.000 dan acuannya tidak ada. Akhirnya melihat titik terendah ketika krisis 1998, angka sekitar Rp 17 ribu, sehingga orang mengkaitkan Rp 14.000 dekat dengan level Rp 17.000 yang krisis sebagai cerminan kita sudah krisis," ujarnya.
Padahal, kata dia, fundamental ekonomi maupun mikro sistem keuangan Indonesia saat krisis 1998 dan saat ini sangat jauh berbeda. Perbedaan pertama bisa dilihat dari sisi inflasi yang saat ini masih berada pada kisaran 7 persen dibandingkan dengan tahun lalu (YoY). Sedangkan saat krisis 1998, inflasi Indonesia hampir menyentuh 80 persen.
"Sekarang laju inflasi kita year on year masih 7 persen. Bahkan sekitar akhir tahun bisa 4 persen. Waktu krisis 1997-1998 level tertinggi hampir 80 persen," kata dia.
Pada saat yang sama, meski ekonomi Indonesia mengalami perlambatan tetapi masih menunjukkan tren positif dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
"Pada saat yang sama meskipun PDB (produk domestik bruto) atau pertumbuhan ekonomi kita terus melambat, tetapi masih positif dan relatif tinggi, masih 4,7 persen dibanding negara lain. Padahal waktu krisis 1998 -13 persen," tuturnya.
Dari sisi utang luar negeri, saat ini rasio utang Indonesia masih sekitar 30 persen dari PDB. Hal ini jauh berbeda ketika krisis 1998 dengan rasio utang luar negeri Indonesia mencapai lebih dari 100 persen.
Sementara dari sisi ketahanan sistem keuangan, terutama di sektor perbankan, dapat dilihat bahwa rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) bank-bank di Indonesia lebih dari 20 persen. Hal ini jauh berbeda ketika krisis karena banyak bank yang rasio kecukupan modalnya negatif.
"Kemudian juga dari NPL (non-performing loan) yang luar biasa besar (ketika krisis), sedangkan sekarang masih berkisar 2 persen-3 persen," kata dia.
Dengan melihat fakta-fakta tersebut, Doddy optimistis kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih jauh dari apa yang disebut dengan fase krisis.
"Secara fundamental ekonomi jauh dengan masa krisis, sehingga tidak bisa diperbandingkan hanya dengan mengaitkan level nilai tukar yang sekarang mendekati level saat krisis," katanya. (Dny/Ndw)**