Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli membongkar bagaimana mekanisme agar Indonesia bisa mendapatkan utang dari negara lain atau lembaga keuangan internasional.
Mantan Menteri Koordinator bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini mengatakan, untuk mendapatkan pinjaman, Indonesia harus mengikuti kemampuan dari negara atau lembaga keuangan yang memberikan pinjaman, seperti membuat aturan baru.
"Biasanya dipinjamin utang luar negeri. Tapi harus buat UU (Undang-undang) dulu. Dulu Indonesia dipinjamkan US$ 500 juta, tapi syaratnya harus buat UU Migas," ujarnya di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Lebih buruknya lagi, UU tersebut hanya menguntungkan si kreditur. Pasalnya UU tersebut mengikutri kemauan dari pihak yang memberikan pinjaman hutang tersebut.
"UU-nya sendiri di mana pasal-pasalnya aneh bin ajaib. Salah satunya Indonesia tidak boleh menggunakan gas lebih dari 20 persen. Itu UU didesain oleh asing-asing. Saya ke India, itu bajaj-nya kok bunyinya tenang-tenang aja. Tidak keluar asap. Ternyata gasnya dari Indonesia," jelasnya.
Selain itu, juga saat Indonesia melakukan pinjaman dari Bank Dunia. Indonesia harus mengubah UU tentang Sumber Daya Air agar bisa dimanfaatkan swasta, bukan lagi diatur oleh negara sebagai hajar hidup orang banyak.
"Misalnya kita meminjam US$ 400 juta dari Bank Dunia. Tapi dia minta UU air. Air harus diswastanisasi. Padahal air itu hak seluruh rakyat Indonesia. Kemudian ada lagi. Kita minjam US$ 200 dari IDB. Dia minta kita buat UU privatisasi BUMN. Jadi BUMN bisa dijual oleh asing," kata dia.
Menurut Rizal, hal-hal seperti ini yang membuat asing menjadi dominan di Indonesia. Sedangkan pengusaha lokal tidak bisa berkembang dengan baik.
"Jadi ini proses menjual kedaulatan kita. Karena UU itu belum tentu sesuai maksud kita sebagai bangsa. Tidak aneh jikalau asing terlalu dominan sama asing. Dan ini terjadi di berbagai bidang. Ini kebijakan yang sangat neo liberal," tandasnya. (Dny/Ndw)