Liputan6.com, Jakarta - Indonesia membutuhkan anggaran hingga Rp 5.000 triliun untuk membangun proyek infrastruktur dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dana tersebut diyakini tidak akan mampu ditutup dari pinjaman perbankan nasional mengingat keterbatasan kredit atau Loan to Deposit Ratio (LDR).
Direktur Finance and Strategy PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan LDR perbankan nasional rata-rata 80 persen atau dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) 15 persen per tahun. Dengan demikian, sambungnya, ada Rp 5.200 triliun setiap tahun yang dikumpulkan bank.
"Sedangkan kebutuhan infrastruktur Negara ini Rp 5.000 triliun dalam 5 tahun ke depan. Perbankan Indonesia tidak akan cukup membiayai proyek-proyek infrastruktur ini. Jadi bisa mengutamakan investasi swasta dengan skema Public Private Partnership (PPP)," ujar dia di Malang, Jumat (11/9/2015).
Advertisement
Jalan keluarnya, saran Kartika, Indonesia memerlukan utang untuk mendanai proyek pembangunan seperti pembangkit listrik 35 ribu megawatt (Mw), jalan tol Trans Sumatera dan proyek prioritas lainnya. Ia mengatakan, utang luar negeri jangan dianggap sebagai keburukan atau kehancuran. Sebagai contoh proyek pembangunan pembangkit listrik 2.000 Mw di Batang, Jawa Tengah terbesar di Asia Tenggara itu ditaksir memakan biaya US$ 2,2 miliar yang akan dibiayai dari ekuitas perusahaan maupun pinjaman.
"Kalau mencari US$ 2,2 miliar di Bank Mandiri tidak akan punya dalam waktu 15 tahun, karena dolar AS kita jumlahnya terbatas dan short term. Konglomerat juga pikir-pikir mau menyimpan segitu. Jadi utang tidak selamanya jelek, karena utang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi baru," jelas Kartika.
Selain perbankan dan swasta, tambah dia, Indonesia bisa mengandalkan pinjaman dari multilateral seperti dari negara lain maupun lembaga internasional, seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), International Moneter Fund (IMF). Namun Kartika menyayangkan sikap sejumlah pihak yang justru mengkritik utangan yang datang dari lembaga internasional tersebut. Contohnya saat Christine Lagarde, Managing Director IMF berkunjung ke Indonesia.
Beberapa pihak langsung menghakimi pemerintah tentang kabar penawaran utang dari IMF. "Utang ke ADB, IMF malah dikritik, kalau tidak mau pinjam sama mereka, mau sama siapa lagi. Investor terbesar dalam surat utang negara kita adalah fund manager asing. Mereka beli setiap kali kita terbitkan SUN di AS, Eropa, Jepang," terang dia.
Mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menilai dampak dari ketergantungan Indonesia atas kebaikan fund manager asing memborong obligasi atau surat utang negara ini akan sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia.
"Karena jika ekonomi kita turun, jual surat utang lalu kita bisa jatuh. Tapi kalau utang ke lembaga internasional dan negara lain, mereka tidak akan kabur jika Indonesia sedang ada masalah. Makanya Pak Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan) akan mencari sumber pembiayaan dari multilateral," kata Kartika. (Fik/Ahm)