Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan, Thomas Lembong memastikan kalau pemboikotan terhadap produk tisu asal Indonesia bukan kebijakan dari pemerintah Singapura. Aksi pemboikotan itu dari retailer dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di negara tersebut.
"Setahu saya boikot dilakukan oleh retailer dan LSM, bukan pemerintah. Itu B to B (business to business), bukan G to G (government to government)," ujar Thomas Lembong di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (20/10/2015).
Karena itu, Thomas mengaku belum tahu secara pasti perusahaan mana saja yang produknya terkena pemboikotan. Meski demikian, pihaknya akan tersebut memantau perkembangan dari pemboikotan ini.
Advertisement
"Saya belum pelajari perusahaan yang kena boikot. (Dampaknya) belum terlalu signifikan. Tapi pasti dipantau, kita akan perhatikan. Kita tidak bisa tindak semua hal," kata dia.
Menurut Thomas, saat ini pemerintah dan perusahaan yang terkait dengan kebakaran hutan melakukan evaluasi dari dalam. Hal itu lantaran kebakaran bukan hanya terjadi saat ini tetapi terus berulang sejak tahun-tahun sebelumnya.
"Kalau saya pribadi, cenderung ke akar masalah bagaimana kita fokus. Bukan hanya sesaat ke boikot," tandas Thomas.
Seperti diketahui, pada 7 Oktober 2015, produk tisu Indonesia yang beredar di Singapura ditarik oleh jaringan supermarket NTUC Fair Price atas rekomendasi Pemerintah Singapura dan Singapore Environment Council (SEC), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Singapura.‬‪
Ada lima perusahaan yang produknya ditarik oleh Singapura, yaitu Asia Pulp And Paper (APP), PT Rimba Hutani Mas, PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, PT Bumi Sriwijaya Sentosa, dan PT Wachyuni Mandira.‬‪
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menilai tindakan boikot produk tisu Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Singapura merupakan sikap diskriminatif.‬‪
Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida mengatakan, Singapura menuduh perusahaan pembuat produk tersebut melakukan pembakaran hutan.
Sementara, proses penyelidikan terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan masih berlangsung oleh pemerintah dan upaya pemadaman terus dilakukan oleh semua pihak termasuk oleh pihak perusahaan anggota APKI.‬‪
Produsen pulp dan kertas di Indonesia, kata Liana, saat ini sudah sangat memperhatikan lingkungan karena pasar sudah sangat selektif mengenai hal ini.
Sebagai contoh, ia menyatakan salah satu group besar penghasil pulp dan kertas telah menerapkan Forest Conservation Policy (FCP), di mana terdapat komitmen untuk tidak membuka lagi hutan alam.
Selain itu, banyak produsen pulp dan kertas di Indonesia yang telah memiliki sertifikat lacak balak (CoC), sertifikat legalitas kayu (SVLK) dan sertifikat produk ramah lingkungan."Sehingga aspek lingkungan pasti benar-benar diperhatikan," kata Liana.‬‪
Atas dasar hal tersebut, Liana memohon agar pemerintah Indonesia menanggapi hal ini. Ia menilai tindakan pemerintah Singapura seperti tidak menghargai proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.‬‪
"Kita perlu mewaspadai hal ini sebagai upaya persaingan dagang internasional dengan tujuan menyudutkan industri Indonesia yang kemudian akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia," tandas Liana. (Dny/Ahm)