Meski Banyak Tekanan, Ekonomi RI Masih Stabil

Sektor keuangan Indonesia stabil cukup baik di hampir semua bidang dari sisi moneter, fiskal, sektor keuangan dan penjamin simpanan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Okt 2015, 08:00 WIB
Diterbitkan 23 Okt 2015, 08:00 WIB
20151006- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro-Jakarta
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/10/2015). Rapat tersebut membahas rencana kerja dan anggaran Kementrian Keuangan tahun 2016. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menyimpulkan, secara umum sektor keuangan Indonesia terjaga. Hanya saja empat lembaga keuangan tinggi negara, yakni Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan terus mengawasi tekanan yang datang dari eksternal dan internal.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, stabilitas ini dibuktikan dari penguatan kurs rupiah, masuknya aliran modal asing (net buy) dari saham dan pasar modal serta pertumbuhan kredit di level 11 persen atau lebih tinggi dibanding sebelumnya hanya 10 persen.

"Sektor keuangan Indonesia stabil cukup baik di hampir semua bidang dari sisi moneter, fiskal, sektor keuangan, dan penjamin simpanan. Pertumbuhan kredit bagus sekali sehingga kegiatan ekonomi kembali berdenyut," ujar dia saat Konferensi Pers FKSSK di Jakarta, seperti ditulis Jumat (23/10/2015).

Namun demikian, Indonesia belum bisa bernapas lega. Tekanan dan volatilitas keuangan, sambung Bambang, masih cukup tinggi akibat sentimen eksternal maupun domestik.

Kementerian Keuangan, mewaspadai tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang diperkirakan mengalami kekurangan (shortfall) pendapatan. Upayanya mengejar penerimaan dalam sisa waktu 3 bulan terakhir ini dilakukan melalui kebijakan yang sudah dan akan dikeluarkan.

"Kami keluarkan kebijakan diskon atas bunga pajak deposito hasil ekspor (DHE) supaya DHE bisa stay lama di sistem perbankan Indonesia. Selain itu, penghapusan pajak berganda untuk instrumen keuangan dana investasi real estate, termasuk pembatasan Dept Equity Ratio (DER) 4:1 yang mulai dilaksanakan Januari 2016 sebagai upaya mengelola utang luar negeri swasta, di samping hedging," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad menyatakan, setelah rupiah melemah di kuartal III 2015, terjadi penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHGS) dan surat utang domestik cukup signifikan seiring kepercayaan investor. Hanya saja, masalah yang menghantui adalah perkembangan ekonomi global.

"AS dan Uni Eropa masih menentukan arah ekonomi dunia sehingga pengawasan terus dilanjutkan. Perkembangan baik realisasi pertumbuhan kredit dari 10,9 persen di Agustus ini menjadi 11 persen saat ini," papar dia.

Muliaman mengaku, OJK menerbitkan kebijakan ekonomi untuk mendorong perbankan syariah di paket kebijakan ekonomi jilid V. Tujuannya guna memanfaatkan perbaikan, termasuk memberi ruang lebih besar bagi pertumbuhan bank syariah.

"Kami sambut baik inisiatif pemerintah menghapus pajak berganda produk dana investasi real estate. Ini akan mendorong sektor real estate dan infrastruktur sehingga membuka peluang pajak lebih besar di masa depan," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, risiko pelemahan ekonomi global masih akan terus berlanjut. Ekonomi Amerika Serikat (AS) belum solid, khususnya China. Harga komoditas cenderung menurun.

"Tapi kita mewaspadai inflasi dari eksternal dan domestik. Tekanan inflasi dampak dari El Nino dan harga beras pada Agustus lalu cukup rendah. Sementara defisit transaksi berjalan di kisaran 2,1 persen terhadap PDB di tahun ini atau lebih rendah dibanding periode yang sama 2014 sebesar 3,1 persen dari PDB," kata Agus.

Di samping itu, Agus mengaku ada beberapa hal untuk mewaspadai perkembangan eksternal. Pertama, Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan, pertumbuhan ekonomi China kecenderungannya melambat. Imbasnya, diakui dia, sangat signifikan terhadap perekonomian dunia dan negara-negara berkembang.

"Mata uang China mau diinternasionalisasikan, jadi mata uangnya dikelola moneter, independen dengan capital account terbuka. Tentu ini ada risiko khusus dalam perlaksanaan dengan mempertimbangkan dolar AS menguat dan upaya China menjaga pertumbuhan ekonominya tidak menurun lebih besar," ucap dia.

Kedua, normalisasi kebijakan The Federal Reserves soal kepastian kenaikan tingkat bunga Bank Sentral AS menjadi perhatian Indonesia di tahun ini atau tahun depan. Ketiga, tantangan berlanjutnya penyesuaian harga komoditas. "Kondisi ekonomi domestik kita kuat, tapi risiko eksternal perlu diwaspadai," pungkas Agus. (Fik/Gdn)*

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya