Liputan6.com, Jakarta Situasi perekonomian Indonesia dinilai masih berada dalam kondisi yang cukup stabil meskipun tekanan dari tantangan ekonomi global semakin meningkat. Baik pemerintah, kalangan legislatif, maupun para ekonom sepakat bahwa daya tahan ekonomi nasional masih terjaga dengan cukup baik di tengah gejolak ekonomi internasional yang kurang menguntungkan.
Saat ini, banyak negara di dunia menghadapi ancaman resesi yang cukup serius. Salah satu pemicu utamanya adalah kebijakan perang tarif yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump. Ia diketahui telah menaikkan tarif bea masuk terhadap sejumlah negara mitra dagang utama Amerika, termasuk Kanada, Meksiko, Tiongkok dan Uni Eropa, sehingga memicu ketegangan perdagangan global yang berujung pada perlambatan ekonomi.
Baca Juga
Di Indonesia sendiri, beberapa indikator sempat menunjukkan adanya perlambatan. Misalnya, Purchasing Managers' Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia pada Juli 2024 tercatat berada di level 49,7, turun dari angka 50,7 yang tercatat pada Juni 2024. Selain itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan adanya deflasi sebesar 0,18% pada Juli 2024, yang menjadi salah satu sinyal menurunnya permintaan domestik.
Advertisement
Namun demikian, pada Februari 2025, aktivitas manufaktur menunjukkan perbaikan yang signifikan. Berdasarkan data PMI yang dirilis oleh S&P Global pada Senin, 3 Maret 2025, PMI manufaktur Indonesia naik menjadi 53,6. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam 11 bulan terakhir, sejak Maret 2024. Peningkatan ini menunjukkan, bahwa sektor industri mulai kembali bergairah dan menjadi sinyal positif bagi pemulihan ekonomi nasional.
Berikut ini penjelasan lebih lengkap yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (22/4/2025).
Â
Perang Tarif dan Ancaman Resesi
Dunia tengah menghadapi tekanan ekonomi yang cukup berat, salah satunya dipicu oleh kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kebijakan tersebut memicu perang tarif dengan sejumlah mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, China, hingga Uni Eropa. Bahkan, mulai 2 April 2025, Trump telah mengumumkan akan memberlakukan tarif balasan terhadap seluruh negara mitra dagang AS, termasuk Korea Selatan. Kebijakan ini memperkeruh situasi ekonomi global yang sejak tahun lalu sudah dibayangi ketidakpastian dan perlambatan.
Akibatnya, banyak negara kini menghadapi risiko resesi yang tinggi. Namun, di tengah tekanan tersebut, Indonesia justru menjadi pengecualian. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Bloomberg pada Februari 2025, peluang Indonesia mengalami resesi hanya sebesar 5%. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Meksiko (38%), Kanada (35%), dan Amerika Serikat (25%).
Deflasi ini ternyata juga diiringi oleh penurunan impor barang konsumsi. Data menunjukkan bahwa impor barang konsumsi pada Februari 2025 hanya mencapai US$ 1,47 miliar, turun 10,61% dibandingkan Januari 2025, dan merosot 21,05% dibandingkan Februari tahun sebelumnya. Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, kondisi ini menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat. Ia mengatakan bahwa harga makanan turun karena permintaan rendah, bahkan tak perlu lagi dipenuhi lewat impor.
Pernyataan senada juga datang dari Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti. Ia menilai bahwa lesunya daya beli disebabkan oleh menurunnya pendapatan riil masyarakat, yang diakibatkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri.
Namun demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah bahwa deflasi dan penurunan impor adalah tanda bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis. Menurutnya, deflasi lebih disebabkan oleh penurunan harga-harga yang diatur pemerintah, atau administered prices. Beberapa kebijakan tersebut antara lain diskon tarif listrik, potongan pajak untuk tiket pesawat, serta diskon tarif tol.
Sri Mulyani juga menyoroti pertumbuhan sektor-sektor industri padat karya, seperti tekstil dan alas kaki. Ia mencatat bahwa sektor TPT (tekstil dan produk tekstil) tumbuh sebesar 4,3% pada tahun 2024, naik signifikan dari 2% di tahun sebelumnya. Sementara itu, industri alas kaki bahkan tumbuh 6,8%, dengan ekspor yang meningkat hingga 17% pada awal 2025.
Advertisement
Strategi Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Ekonomi di Tengah Tekanan Global
Menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang kian membesar, Indonesia tidak tinggal diam. Pemerintah terus mengembangkan berbagai strategi jangka pendek maupun panjang untuk menjaga stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional. Strategi ini tidak hanya berfokus pada perlindungan domestik, tetapi juga pada penguatan struktur ekonomi secara menyeluruh agar tetap kompetitif di panggung global.
1. Diversifikasi Mitra Dagang
Salah satu langkah penting yang dilakukan pemerintah adalah diversifikasi mitra dagang. Di tengah eskalasi perang tarif yang dipicu oleh kebijakan Presiden AS Donald Trump, Indonesia berupaya untuk tidak terlalu bergantung pada satu atau dua negara tujuan ekspor. Diversifikasi ini bertujuan untuk memperluas pasar ekspor dan mengurangi risiko ketergantungan terhadap negara-negara yang rentan terhadap ketegangan perdagangan.
Dengan mengembangkan hubungan dagang yang lebih seimbang ke berbagai kawasan seperti Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah, Indonesia berupaya membangun pondasi ekonomi yang lebih adaptif terhadap dinamika global.
2. Penguatan Hilirisasi Industri
Strategi berikutnya yang menjadi sorotan adalah penguatan hilirisasi industri dalam negeri. Pemerintah mendorong transformasi ekonomi dari yang selama ini bergantung pada ekspor bahan mentah menjadi ekonomi yang berbasis nilai tambah. Melalui program hilirisasi, sektor-sektor seperti pertambangan, perkebunan, dan perikanan mulai diarahkan untuk menghasilkan produk setengah jadi atau jadi yang bernilai ekspor tinggi.
Langkah ini tidak hanya menambah nilai ekspor nasional, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan investasi, dan memperkuat daya saing industri manufaktur dalam negeri.
3. Menjaga Daya Beli Masyarakat
Di tengah fluktuasi global, menjaga daya beli masyarakat menjadi prioritas utama pemerintah. Berbagai kebijakan dirancang untuk meringankan beban masyarakat, seperti pemberian diskon tarif listrik, insentif pajak transportasi, hingga subsidi barang pokok.
Deflasi yang terjadi pada awal 2025 menjadi sinyal bahwa konsumsi rumah tangga perlu diperkuat kembali. Pemerintah tidak melihat deflasi ini sebagai ancaman krisis, melainkan sebagai hasil dari kebijakan pengendalian harga barang yang diatur pemerintah (administered prices). Meski demikian, pemerintah tetap waspada agar tekanan terhadap konsumsi tidak berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
4. Integrasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kunci lain dari ketahanan ekonomi Indonesia adalah harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, serta Bappenas bekerja sama dalam menyelaraskan kebijakan anggaran negara dengan stabilitas keuangan nasional.
Kebijakan ini mencakup penguatan APBN untuk stimulus ekonomi, stabilisasi nilai tukar, dan pengendalian inflasi. Dengan strategi ini, kepercayaan investor dan pelaku usaha terhadap perekonomian Indonesia tetap terjaga, bahkan di saat banyak negara mengalami ketidakpastian yang tinggi.
5. Dukungan terhadap Industri Padat Karya
Sektor industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki juga menjadi fokus dalam strategi stabilisasi ekonomi. Pemerintah memberikan berbagai insentif untuk mendukung produktivitas sektor ini, termasuk pembukaan pasar ekspor baru, pelatihan tenaga kerja, dan penguatan ekosistem usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung sektor tersebut.
Data menunjukkan bahwa sektor tekstil tumbuh sebesar 4,3% pada tahun 2024, dan industri alas kaki mencatat pertumbuhan 6,8%. Bahkan, pada awal tahun 2025, ekspor alas kaki melonjak hingga 17%, menunjukkan bahwa sektor ini mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global.
Â
Tindakan yang Harus Dilakukan Demi Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional
Ketika gejolak ekonomi global semakin tidak menentu, menjaga stabilitas ekonomi menjadi prioritas yang tak bisa ditawar. Pemerintah Indonesia, bersama pemangku kepentingan terkait, dituntut untuk mengambil langkah konkret dan cepat demi mempertahankan ketahanan ekonomi dalam negeri. Berikut ini adalah beberapa langkah strategis yang dinilai penting untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional dalam jangka pendek maupun panjang.
1. Meningkatkan Daya Beli Masyarakat Lewat Kebijakan Stimulus
Daya beli masyarakat menjadi indikator penting dalam menilai kekuatan konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah perlu terus menggulirkan kebijakan stimulus yang tepat sasaran, seperti subsidi bahan pokok, potongan pajak penghasilan, bantuan langsung tunai (BLT), hingga diskon untuk tarif listrik dan transportasi publik.
Langkah-langkah ini akan membantu masyarakat menjaga kemampuan konsumsi mereka, terutama menjelang momen-momen penting seperti Ramadan dan Lebaran, yang biasanya menjadi pendorong pertumbuhan konsumsi.
2. Menjamin Ketersediaan dan Keterjangkauan Harga Pangan
Situasi deflasi yang muncul menjelang Ramadan 2025 bukan hanya disebabkan oleh rendahnya permintaan, namun juga dipengaruhi oleh keterbatasan distribusi dan pasokan pangan. Untuk itu, pemerintah perlu menjamin agar stok bahan pangan selalu cukup, terutama pada masa-masa dengan konsumsi tinggi.
Upaya seperti memperbaiki sistem logistik nasional, mempermudah akses distribusi barang, serta menjaga rantai pasok pangan dari hulu ke hilir menjadi kunci dalam mengendalikan fluktuasi harga dan mencegah krisis pasokan.
3. Menanggulangi Dampak PHK Melalui Program Re-skilling
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor turut menjadi penyebab turunnya daya beli masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu menyediakan program pelatihan ulang (re-skilling) dan peningkatan keterampilan (up-skilling) bagi para pekerja yang terdampak.
Program pelatihan ini dapat difokuskan pada sektor-sektor baru yang tengah tumbuh, seperti ekonomi digital, energi terbarukan, dan industri kreatif, sehingga para pekerja tetap memiliki peluang kerja di sektor lain yang lebih prospektif.
4. Mendorong UMKM sebagai Motor Penggerak Ekonomi
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Di tengah tekanan global, pemerintah harus memperkuat peran UMKM melalui akses permodalan yang lebih luas, pelatihan kewirausahaan, hingga digitalisasi usaha.
Dengan memperkuat UMKM, maka basis ekonomi rakyat juga semakin tangguh. Hal ini penting untuk mendorong pemerataan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
5. Menjaga Iklim Investasi Tetap Kondusif
Kestabilan ekonomi juga sangat tergantung pada kepercayaan investor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus terus menciptakan iklim investasi yang aman, transparan, dan pro-bisnis.
Hal ini bisa dilakukan melalui penyederhanaan perizinan, insentif pajak untuk sektor prioritas, serta peningkatan infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi. Investasi yang masuk tidak hanya akan memperkuat nilai tukar dan cadangan devisa, tetapi juga meningkatkan produksi dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja.
6. Meningkatkan Sinergi Antar-Lembaga Pemerintah
Koordinasi dan sinergi antara lembaga-lembaga pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan Bappenas menjadi kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi. Kebijakan fiskal dan moneter harus berjalan seiring agar kebijakan yang dikeluarkan tidak saling bertabrakan.
Sinergi ini akan menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih terintegrasi dan efektif dalam menanggulangi guncangan dari luar maupun dari dalam negeri.
Advertisement
