Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Petroleum Association (IPA) mengungkapkan, untuk menurunkan harga gas hulu bisa dilakukan dengan mempercepat proses produksi minyak dan gas bumi (migas).
Ketua Komite Gas dan LNG IPA Taufik Ahmad mengatakan, proses produksi minyak dan gas membutuhkan waktu mencapai 15 tahun, karena harus menempuh proses rumit yang ditetapkan pemerintah. ‎
"Life time eksplorasi kecil Indonesia mendekati 15 tahun karena banyak proses dan izin yang kita lalui, bukan hanya ESDM dan SKK Migas tapi ada di tempat lain masalah kehutanan," kata ‎Taufik,di Jakarta, Kamis (26/11/2015).
Advertisement
Taufik menambahkan, waktu lama bagi perusahaan untuk memproduksi migas berimbas ke harga gas. Jika proses itu dipangkas maka harga gas pun akan lebih murah.
"Kalau harga gas hulu bisa diselesaikan bisa kalau goverment kecil, life time pendek kalau butuh 15 tahun untuk produksi over head production tinggi, costnya tinggi bayangkan kalau hanya 5 tahun saja, itu bisa dihemat," tutur dia.‎
Taufik menambahkan, permasalahan investasi pada sektor migas Indonesia adalah kebijakan yang tumpang tindih, sehingga menyulitkan investor untuk melakukan kegiatannya.
"Indonesia sendiri selain masalah global ada lokal kontemporer ada tantang regulatory investment climate, penggunaan rupiah untuk transaksi dalam negeri keluarnya aturan baru alokasi perpres tata kelola gas. Hal ini cukup memerlukan perhatian energi Industri hulu," ujar dia.
Sebelumnya Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto mengaku memiliki cara untuk menekan harga gas di dalam negeri, yang dikeluhkan banyak pihak.Menurut dia, menekan harga gas bisa dilakukan dengan pembangunan infrastruktur. Lantaran, salah satu faktor ‎yang memicu mahalnya harga gas adalah infrastruktur yang belum memadai.
"Harga gas bisa ditekan dengan infrastruktur," kata Dwi pada acara Pertamina Energy Forum 2015, di Jakarta, Selasa 24 November 2015.
Menurut dia, selain infrastruktur, penerapan open access pipa juga mampu mengurai mahalnya harga gas. Itu karena pipa gas bisa digunakan siapa saja, sehingga tidak ada monopoli dari satu perusahaan saja. "Open access, perannya bisa diambil negara," tegas Dwi. (Pew/Ahm)