Ingin Kontrak Diperpanjang, Freeport Harus Tunggu 2019

‎Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menilai proses perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia ini tidak sesuai aturan.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 05 Des 2015, 11:35 WIB
Diterbitkan 05 Des 2015, 11:35 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta ‎Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengatakan proses perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia ini tidak sesuai aturan. Pasalnya, menurut Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009, perpanjangan baru bisa dilakukan 2 tahun sebelum kontrak habis.

Kontrak Freeport Indonesia bakal berakhir pada 2021, sehingga pembahasan perpanjangan kontrak Freeport seharusnya dimulai pada 2019. Namun nyatanya, nasib perpanjangan kontrak Freeport sudah mulai dibahas akhir-akhir ini.

"‎Ibarat loket kereta dibuka pukul 6, orang antre pukul 3, boleh saja, tapi loket tidak dibuka. Kalau ajukan sebelum 2019, ya boleh saja. Mestinya pemerintah tidak meladeni‎," kata Kardaya, dalam diskusi bertajuk Dramaturgi Freeport, di Jakarta, Sabtu (5/12/2015).

 

Politikus Gerindra ini juga menegaskan rezim yang dipakai merupakan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) bukan kontrak karya (KK). Pasal 169b UU Minerba menunjukkan bahwa semua rezim KK harus diubah menjadi IUPK.‎ Hal ini telah dilakukan Rabu 10 Juni 2015 lalu.

"Sistem izin, beda dengan kontrak. Kontrak bisa negosiasi. Izin ya izin, setelah 2021, tapi tak berdasarkan negosiasi. Contoh IMB itu ditentukan pemerintah, kalau you mau harus penuhi syarat yang diberikan," tegas Kardaya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Ladjiman Damanik menambahkan, pemerintah harusnya mendesak Chairman Freeport James R Moffet untuk mematuhi aturan. Dalam rezim IUPK, pemerintah yang menentukan aturan investasi.

‎"Dari rezim kontrak pada rezim perizinan. Artinya harus ikuti peraturan resmi‎. Jim Moffet juga bilang akan mematuhi UU. Tapi beranikah pemerintah menekan dia untuk patuh?" tandas Ladjiman.

Freeport berencana mengeluarkan investasi sebesar US$ 17,3 miliar yang terdiri atas US$ 15 miliar untuk tambang bawah tanah dan infrastruktur, serta US$ 2,3 miliar untuk smelter. (*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya