Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, sebelum PT Freeport Indonesia mendapatkan perpanjangan kontraknya di Indonesia, pemerintah harus memastikan empat hal ini dipenuhi oleh perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Pertama, Freeport harus menaikan pembagian royalti kepada negara minimal sebesar 6 persen untuk hasil tambang emas dan 7 persen untuk tembaga. Dengan demikian, negara mendapatkan penerimaan lebih besar dari sumber daya alam yang dikeruk oleh perusahaan tambang tersebut.
"Kita mau royalti tidak lagi hanya 3,75 persen untuk emas dan perak, lalu 4 persen untuk tembaga tapi minimal untuk emas dan perak itu 6 persen, tembaga 7 persen. Jadi ada peningkatan penerima negara lewat royalti yang bertambah," ujarnya di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (5/12/2015).
Kedua, Freeport harus mau memberikan sahamnya lebih besar sehingga negara menguasai minimal 51 persen saham Freeport. "Divestasi saham supaya di 2021 pemilikan oleh Indonesia jadi 51 persen," lanjutnya.
Baca Juga
Ketiga, Freeport harus mengganti rugi semua kerusakan alam yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangannya selama ini. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebenarnya Freeport telah menyetujui ganti rugi tersebut, tinggal pemerintah sekarang menagih janji itu.
"Kita mau kerusakan lingkungan akibat tambang Freeport diganti dalam bentuk pembayaran ganti rugi sebesar US$ 5 miliar ini pernah dibahas dan disetujui melalui pemerintahan Gusdur yang negosiatornya Pak Rizal Ramli," kata dia.
Dan keempat, Freeport harus mau membangun smelter-nya Papua, bukan hanya di Gresik, Jawa Timur. Empat hal ini bisa ditambah dengan kewajiban bagi Freeport untuk menggunakan produk dan komponen dalam negeri dalam operasional penambangannya.
"Kita juga mau smelter dibangun di Papua. Kalau mau ditambah sebetulnya bisa ditambah dengan lokal konten, ini harus terbuka transparan jangan ada deal perorangan atau penguasa. Seperti yg terjadi misalnya kita tahu ada kontrak suplai dinamit ke perorangan padahal kita punya BUMN. Dan BUMD bisa dibentuk untuk mendapatkan manfaat dari lokal konten itu," jelasnya.
Menurut dia, keempat hal tersebut bukan hal yang mustahil dikabulkan oleh Freeport jika pemerintah mau memperjuangkannya. Marwan juga yakin keempat hal tersebut bukan hal yang berat bagi perusahaan tambang sebesar Freeport.
"Namanya negosiasi harus ada upaya dulu, kita tidak mau seperti sekarang tidak ada negosiasi lalu deal. Ini juga menunjukan komitmen pemerintah bahwa kita tidak akan ambil langkah ekstrim, tidak perpanjang kontrak atau melakukan nasionalisasi. Bagi Freeport itu kan juga bukan hal terlalu berat untuk dipenuhi," tandasnya.