Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memandang perekonomian Indonesia tahun depan masih akan diliputi awan mendung karena beberapa faktor. Dalam kondisi sulit tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) optimistis dapat merealisasikan kebutuhan pembiayaan ‎utang yang ditargetkan mencapai Rp 605,3 triliun pada 2016.
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro pesimistis terhadap perekonomian Indonesia di tahun depan karena adanya ketidakpastian kondisi global, seperti kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan tingkat suku bunga (Fed Fund Rate), perlambatan ekonomi China dan harga komoditas.
Baca Juga
Baca Juga
"Kondisi perekonomian tahun depan tidak lebih prospektif, kita harus lebih hati-hati dengan kemungkinan kondisi terburuk," tegasnya saat ditemui di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, ‎Senin (7/12/2015).
Advertisement
Ia mengaku, ekonomi dunia dan Indonesia masih akan dibayang-bayangi keberlanjutan Fed Fund Rate di tahun depan karena The Federal Reserves berencana menyesuaikan tingkat suku bunga sekitar 200-300 basis poin (Bps). ‎Alasan lain, sambung Bambang, adalah perlambatan ekonomi China yang akan cenderung permanen.
"Perubahan paradigma dan pertumbuhan ekonomi China di masa depan tidak lagi 10 persen. Normalnya akan bertumbuh 6-7 persen, walaupun angka ini tetap tinggi di dunia, dengan Product Domestik Bruto (PDB) nomor 2 terbesar di dunia," jelas Bambang.
Faktor lain, diakuinya, harga jual komoditas yang diprediksi masih belum membaik, salah satunya kebijakan negara-negara produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC belum berpikir menaikkan harga minyak. Pemerintah, Bambang bilang, masih harus rajin menarik investasi dan menjaga daya beli masyarakat dengan target pertumbuhan konsumsi 5 persen.
"Jadi di saat kondisi seperti ini, kita tetap berpikir bahwa budget harus ekspansif, jadi pembiayaan jadi kritikal. Tapi kami yakin Kemenkeu dengan pengalamannya bisa menjalankan tugas ini (meraup utang Rp 605,3 triliun) walaupun kondisi global tidak menentu karena window untuk pembiayaan ‎dari asing lebih sempit, lelang rutin lebih ketat persaingannya karena kita harus bersaing dengan negara lain yang juga mencari sumber utang," jelas Bambang.
Lebih jauh ia mengatakan, pemerintah harus berupaya meningkatkan porsi investor domestik pada portfolio surat utang negara (SUN). Saat ini kepemilikan asing dalam SUN RI sebesar 37 persen. Porsi tersebut dinilai Bambang, relatif tinggi dibanding negara lain dan rawan apabila terjadi sudden reversal (pelarian modal asing).
"Jadi kepemilikan asing diupayakan turun melalui mekanisme pasar kalau basis investor sudah besar. Dengan begitu, kita ingin bisa sama seperti India, bahkan Jepang ‎yang kepemilikan asingnya cuma 9 persen. Sehingga anggaran negara dari rakyat untuk rakyat," tandas Bambang.