Kasus Papa Minta Saham Turut Andil Bikin Rupiah Terpuruk

PMA dan PMDN tertahan akibat beberapa menteri justru sibuk mengurus kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam kasus Freeport.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 17 Des 2015, 09:46 WIB
Diterbitkan 17 Des 2015, 09:46 WIB
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Liputan6.com, Jakarta
Kegaduhan kasus 'Papa Minta Saham Freeport' turut memberi sentimen negatif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara tidak langsung. Kurs rupiah dalam beberapa hari terakhir ini terperosok dalam hingga ke level 14.000 per dolar AS.  
 
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menilai, investasi baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertahan akibat beberapa menteri justru sibuk mengurus kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden yang melibatkan pemeran utama, Ketua DPR Setya Novanto. 
 
Aliran modal investasi menjadi seret dan akhirnya Indonesia tak mampu menambah pasokan likuiditas yang dapat digunakan untuk menolong rupiah. "Kita tuh terlalu banyak ngurusin Freeport. Negara terganggu, menteri-menteri ekonomi juga terganggu karena isunya macam-macam fokus ke MKD," kata Agus saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (17/12/2015). 
 
Lebih jauh Agus mengaku, pelaku pasar merespons negatif kisruh Papa Minta Saham Freeport, sehingga berimplikasi kepada investasi.
 
Padahal, katanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Pendiri Freeport Mc-Moran, James R Moffet dan melahirkan 11 poin kesepakatan. Pertemuan ini didampingi Menteri ESDM, Sudirman Said.  
 
"Ribut melulu, bagaimana ekonomi mau benar. Dulu kesepakatan Presiden bertemu dengan Moffet dan Sudirman Said, besoknya rupiah naik karena ada kesepakatan 11 poin. Tapi ada kasus ini, negara tidak bekerja dengan baik, pasar merespons negatif," jelasnya.
 
Agus meminta agar pemerintah fokus mengurus ekonomi Negara ini yang sedang dihantam badai ketidakpastian dunia sehingga mengganggu nilai tukar rupiah. Akibat kasus tersebut, sambungnya, investor tarik ulur menanamkan modal di Indonesia. 
 
"Sudahlah, biarkan saja, tidak usah dipikirkan. Orang luar melihatnya negara kok begini. Bagaimana investor mau masuk, akhirnya mereka menahan investasi. Saya bertemu dengan investor dari Pulau Bintan, dan ia menahan penanaman modal karena dianggap yang di sini puluhan tahun saja dibegitukan, apalagi yang baru masuk, bisa diperas," tegas Agus.     
 
Dikatakan Agus, nilai tukar rupiah 14.000 per dolar AS sangat berdampak besar terhadap industri manufaktur nasional. Alasannya, industri manufaktur dalam negeri masih mengandalkan 60-70 persen bahan baku impor, sehingga depresiasi kurs akan membebani pengusaha dan akhirnya Indonesia sulit bersaing dengan negara lain, semisal China. 
 
"Di Pelabuhan juga pada tidak mau pakai rupiah, karena kurs jadi lebih mahal sampai 16.000 per dolar AS. Pengusaha bisa rugi dua kali, jadi mending pakai dolar AS," ucapnya. 
 
Ia menyarankan agar pemerintah mengundang investor dan menggiatkan kegiatan penanaman modal, serta membangun infrastruktur. Dengan begitu, aliran modal kembali deras masuk ke Indonesia dan mendorong penguatan rupiah. 
 
"Jangan sampai deh Rp 15.000-Rp 16.000 per dolar AS. Karena spending dolar dari Bank Indonesia (BI) pasti besar lho. Sekarang saja sudah besar," pungkas Agus.(Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya