Kenapa Generasi Millenial Pilih Beri Nama Anak yang Panjang dan Ribet?

Nama panjang dan unik jadi tren generasi milenial, mencerminkan identitas, kelas sosial, dan masa depan anak.

oleh Andre Kurniawan Kristi Diperbarui 11 Apr 2025, 09:20 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 09:20 WIB
Doa agar Anak Tumbuh Sehat
Ilustrasi Bayi yang Baru Lahir Credit: unsplash.com/Jonathan... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Dalam beberapa dekade terakhir, tren pemberian nama anak mengalami pergeseran drastis. Nama-nama sederhana seperti Budi, Sari, atau Adi perlahan tergantikan oleh nama-nama panjang dan terkesan rumit seperti Azzalea, Baheera, atau Kenzie. Perubahan ini tampaknya tidak hanya mencerminkan pergeseran selera, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang berkembang di kalangan generasi milenial.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terlihat di banyak negara seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat, hingga Prancis. Para orang tua kini semakin terdorong untuk memberikan nama yang unik, modern, dan bahkan lintas budaya sebagai bentuk ekspresi identitas sekaligus strategi sosial. Nama bukan sekadar panggilan, tapi menjadi representasi kelas, individualitas, dan ekspektasi masa depan.

“Nama merupakan inti identitas kita dan juga terkait dengan identitas hukum yang penting, bagaimana kita diidentifikasi oleh negara dan pemerintah. Nama juga merupakan bagian dari identitas sosial budaya kita. Nama menandai siapa kita dalam hal gender, etnis, dan hal-hal lainnya,” kata seorang sosiolog di Universitas Leicester, Jane Pilcher, dikutip dari bbc.com.

 

Pergeseran Budaya: Dari Tradisional Menuju Global

Tren nama anak kini lebih banyak dipengaruhi oleh kosakata asing, terutama bahasa Inggris dan Arab. Sebuah studi oleh Teguh Setiawan dari UNY mencatat bahwa di Jawa Tengah, nama anak-anak antara tahun 2000-2020 lebih banyak berasal dari bahasa asing, menggantikan nama-nama lokal yang dulu umum. Nama-nama seperti Amanda, Valery, dan Athar kini mendominasi akta kelahiran.

Para orang tua milenial menghindari nama-nama yang terlalu terikat dengan identitas lokal. Mereka lebih memilih nama yang mencerminkan kemodernan dan kesan internasional. Menurut Teguh, pemilihan ini sangat dipengaruhi oleh wawasan, pendidikan, serta keinginan untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya.

Lebih dari sekadar modernisasi, nama menjadi alat untuk mengangkat citra sosial. Nama panjang dan rumit tidak hanya mencerminkan pengetahuan global para orang tua, tetapi juga berfungsi sebagai simbol status yang lebih tinggi di tengah masyarakat yang semakin kompetitif.

 

Nama Unik sebagai Cerminan Individualisme

Jean Twenge, profesor psikologi dari San Diego State University, mencatat bahwa semakin individualistik suatu masyarakat, semakin besar kemungkinan mereka memberi nama yang unik pada anak. Di Amerika Serikat dan Inggris, popularitas nama umum menurun drastis sejak tahun 1950-an, digantikan oleh nama unik atau ejaan alternatif dari nama populer seperti “Jaxson”.

Tren ini juga terlihat di negara-negara dengan sejarah kolonisasi seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Michael Varnum dari Arizona State University mengaitkan hal ini dengan warisan mentalitas perintis yang independen dan anti-konformis. Masyarakat yang terbiasa merantau atau hidup di lingkungan frontier lebih cenderung memberikan nama yang berbeda demi menunjukkan kemandirian.

Dalam masyarakat yang semakin menjunjung tinggi nilai ekspresi diri, nama menjadi medium untuk membedakan diri. Ini juga tercermin dalam maraknya penggunaan nama rangkap seperti Amelia-Rose di Inggris atau gabungan karakter kanji unik di Jepang.

 

Peran Ekonomi dan Kelas Sosial dalam Penamaan

Nama tidak hanya mencerminkan selera, tapi juga posisi sosial. Menurut Varnum, ketika kondisi ekonomi membaik, orang lebih cenderung memilih nama yang unik karena memiliki sumber daya lebih untuk “berbeda”. Hal ini diperkuat oleh riset Emily Bianchi dari Emory University yang menemukan bahwa tren nama umum meningkat saat tingkat pengangguran tinggi.

Di Indonesia, fenomena ini juga diamini oleh Nurhayati dari Universitas Diponegoro. Ia menjelaskan bahwa orang tua dari kalangan menengah ke bawah memilih nama global untuk anak mereka guna keluar dari keterbatasan kelas sosial. Nama modern dianggap bisa membawa anak mereka ke strata sosial yang lebih tinggi, atau setidaknya menyesuaikan diri dengan masyarakat global.

Identitas baru yang ditawarkan lewat nama bukan lagi sekadar tanda pengenal, tetapi bentuk negosiasi posisi sosial. Ini menjadi cara para orang tua menyiapkan anak-anak mereka menghadapi kompetisi global sejak dini.

 

Pengaruh Nama terhadap Masa Depan Anak

Nama juga terbukti memiliki pengaruh pada kehidupan sosial dan profesional. Studi menunjukkan bahwa nama yang mudah diucapkan lebih mudah diterima dan dikaitkan dengan posisi tinggi, seperti di firma hukum. Sementara itu, di dunia kencan daring, nama yang tidak umum cenderung diabaikan.

Lebih jauh lagi, nama yang androgini ternyata dapat mempengaruhi pilihan studi dan karier. David Figlio dari Northwestern University menemukan bahwa anak perempuan dengan nama netral cenderung memilih jurusan sains atau matematika. Bahkan, nama yang terkesan maskulin bisa meningkatkan peluang karier perempuan di bidang hukum.

Namun, efek sebaliknya bisa terjadi pada anak laki-laki. Figlio mencatat bahwa anak laki-laki dengan nama yang lazim dipakai perempuan cenderung mengalami gangguan perilaku di sekolah, terutama bila ada anak perempuan di kelas yang memiliki nama sama.

 

Regulasi Nama: Ketika Negara Turut Campur

Tidak semua negara membebaskan orang tua memberi nama sesuka hati. Di Islandia, misalnya, nama anak harus diambil dari daftar resmi pemerintah. Jerman juga mewajibkan nama mencerminkan jenis kelamin. Tujuannya adalah untuk melindungi anak dari potensi perundungan atau dampak psikologis akibat nama yang dianggap “aneh”.

Pengadilan di beberapa negara bahkan pernah mengintervensi nama anak yang dinilai tidak layak. Di Prancis, nama Nutella sempat dilarang. Di Inggris, nama Cyanide tidak disetujui. Sementara di Selandia Baru, seorang anak dengan nama “Talula Does the Hula From Hawaii” akhirnya ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan demi mengganti namanya.

Meski demikian, para pakar menyarankan agar orang tua tetap mempertimbangkan dampak jangka panjang. “Pilihlah nama yang bermakna dan disukai, tapi sadarilah bahwa masyarakat akan memperlakukan anak kita berbeda berdasarkan nama tersebut,” ujar Figlio.

 

Pertanyaan Populer Seputar Tren Nama Anak

Kenapa generasi milenial lebih suka nama yang panjang?

Karena nama panjang dinilai lebih modern, unik, dan mencerminkan kelas sosial yang lebih tinggi.

Apa alasan nama lokal semakin ditinggalkan?

Nama lokal ditinggalkan karena dianggap terlalu tradisional dan tidak mencerminkan identitas global.

Apakah nama bisa mempengaruhi masa depan anak?

Studi menunjukkan bahwa nama bisa mempengaruhi persepsi sosial, karier, dan interaksi.

Apakah ada negara yang melarang nama tertentu?

Beberapa negara seperti Islandia, Jerman, dan Prancis memiliki aturan ketat terkait nama anak.

Mengapa nama asing lebih diminati?

Nama asing memberi kesan modern, berkelas, dan dianggap cocok dengan dunia global yang semakin terbuka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya