Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan tentang bagaimana cara memperlakukan ari-ari (plasenta) setelah seorang bayi lahir kerap kali muncul di tengah masyarakat, khususnya yang masih memegang erat tradisi turun-temurun. Sebagian menggelar ritual khusus, sementara yang lain memilih untuk memperlakukannya secara sederhana, termasuk saat mengubur ari-ari.
Di tengah perdebatan antara budaya dan ajaran agama, dua pendakwah kondang di Indonesia memberikan pandangan yang jelas dan tegas. Mereka adalah KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang dikenal sebagai Buya Yahya, dan Ustadz Abdul Somad (UAS).
Buya Yahya, dalam sebuah pengajian yang videonya dikutip dari kanal YouTube @MenujuJannah-g6z, menyampaikan bahwa perlakuan terhadap ari-ari sebaiknya dilihat secara proporsional. Fokus utama seharusnya tertuju pada bayi yang lahir, bukan ari-arinya.
Advertisement
"Yang anda jaga adalah bayi yang lahir. Adapun ari-ari bisa anda buang di mana saja, tidak harus Anda acarakan dengan acara yang khusus," ujar Buya Yahya dalam ceramah tersebut.
Ia juga menyinggung soal berbagai keyakinan yang berkembang di masyarakat, seperti menempatkan ari-ari di depan rumah, memasukkannya dalam kendi, atau membungkusnya dengan perlengkapan tertentu. Menurutnya, semua itu tidak perlu diyakini sebagai keharusan.
"Ari-ari adalah ari-ari. Cuman karena terlanjur digelari dengan gelar yang baik, maka orang menganggap harus dihormati seperti bayi. Namanya kalau di Jawa disebut batur bayi (teman bayi)," lanjutnya.
Buya Yahya menegaskan bahwa ari-ari, seperti darah atau kotoran lainnya, cukup disingkirkan dan dikuburkan dengan cara yang layak. Tidak perlu memiliki pemikiran khusus atau keyakinan aneh terhadapnya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Kalau UAS Berpendapat Begini
"Tanam di mana saja. Gak usah punya keyakinan aneh-aneh. Itu bukan bayi. Memang batur bayi, nemeni bayi keluar waktu lahir. Jadi gak usah Anda punya pikiran macam-macam," ucapnya.
Yang penting, lanjut Buya Yahya, ari-ari tidak sampai mengganggu kenyamanan orang lain. Jangan sampai dibiarkan di luar hingga menimbulkan bau busuk atau jadi sumber penyakit.
"Letakkan di mana saja, yang penting jangan ganggu orang hidup. Kalau ditaruh di luar nanti berbau busuk dan sebagainya. Yang penting dikubur di mana saja," pungkasnya.
Sementara itu, Ustadz Abdul Somad (UAS) juga memberikan tanggapan serupa. Dalam sebuah tanya jawab yang dikutip dari kanal YouTube @tanyajawabuas4701, UAS menyebut bahwa tidak ada aturan khusus dalam Islam tentang penguburan ari-ari.
Menurut UAS, ari-ari dipandang sama dengan bagian tubuh lainnya seperti kuku atau rambut. Maka dari itu, memperlakukannya secara berlebihan tidak diperlukan.
"Penguburan ari-ari tidak diatur dalam Islam, karena ari-ari sama dengan potongan tubuh lainnya, ibaratnya sama dengan kuku dan rambut," kata UAS.
Meski begitu, UAS menyadari bahwa di banyak daerah masih ada tradisi dan ritual yang menyertai penguburan ari-ari. Misalnya dengan menanam bersama lilin, kelapa, kunyit, bawang, daun salam, dan lain sebagainya.
Ada pula yang menyimpan potongan pusar atau ari-ari dan menggunakannya sebagai bahan ramuan atau obat. Namun untuk hal ini, UAS memberikan peringatan keras.
"Hal tersebut najis, itu kotoran. Tidak diperkenankan," tegas UAS dalam penjelasannya. Ia menyebut tindakan tersebut tidak sesuai dengan syariat.
UAS menambahkan bahwa dalam Islam tidak ada dalil yang menjelaskan perlakuan khusus terhadap ari-ari. Semua perlakuan ritual tersebut berasal dari adat istiadat nenek moyang.
"Pokoknya itu tidak diatur oleh Islam. Yang mengatur itu hanya adat istiadat nenek moyang," tuturnya.
Advertisement
Kesimpulan Memperlakukan Ari-Ari
Meski begitu, baik Buya Yahya maupun UAS tidak serta-merta melarang adat yang berkembang. Selama tidak bertentangan dengan syariat, adat bisa menjadi pelengkap yang memperkaya budaya.
Namun penting untuk membedakan mana yang merupakan bagian dari agama dan mana yang hanya tradisi lokal. Hal ini agar umat Islam tidak terjerumus pada keyakinan yang tidak berdasar.
Pada akhirnya, kedua pendakwah ini menekankan pentingnya akidah yang lurus dalam menyikapi setiap fenomena, termasuk hal-hal yang dianggap sepele seperti ari-ari.
Dengan mengikuti pemahaman yang benar, umat Islam diharapkan bisa menjaga keseimbangan antara ajaran agama dan budaya yang berkembang di masyarakat.
Masyarakat pun diingatkan agar tidak menjadikan adat sebagai sesuatu yang wajib secara agama, apalagi jika sampai meyakini adanya unsur mistik di dalamnya.
Kembali pada esensi ajaran Islam, setiap bagian tubuh manusia yang tidak lagi terpakai harus diperlakukan dengan cara yang layak, tanpa unsur pemujaan atau ritual khusus.
Jadi, jawaban atas pertanyaan “Apakah ari-ari harus diritualkan?” menurut pandangan Buya Yahya dan UAS adalah: tidak perlu. Cukup dikubur dengan cara yang bersih dan tidak mengganggu.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
