Pengusaha Minta Industri Otomotif Bantu Dorong Harga CPO

Turunnya harga CPO pada tahun lalu rata-rata berada pada kisaran US$ 600 per metrik ton

oleh Septian Deny diperbarui 22 Jan 2016, 09:05 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2016, 09:05 WIB
Pemerintah Bakal Cabut Izin Usaha Bila Tak Campur 15% BBN
Kementerian ESDM juga akan terus mengawasi proses pencampuran biodiesel sebesar 15 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah potensi menurunnya harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) di pasar global yang masih akan berlanjut pada tahun ini, pengusaha kelapa sawit dalam negeri berharap industri otomotif lokal mulai menerapkan sistem mesin pada kendaraan yang mampu mengkonsumsi biodisel dengan campuran 15 persen CPO (B15) secara lebih baik pada tahun ini.

Ketua Bidang Sustainable Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ‎Daud Dharsono mengatakan, dengan peningkatan konsumsi biodisel pada kendaraan, diharapkan penyerapan biodisel di dalam negeri menjadi lebih besar dan membawa dampak bagi peningkatan harga CPO.

"Harga ini kita topang dengan pemakaian biodisel yang kita tahu B15. Beberapa produsen kendaraan berat seperti truk menyatakan bisa menggunakan biodisel B15. Sehingga dengan pemakaian biodisel dalam negeri yang pada 2016 ini ditargetkan penyerapan mencapai 4 juta ton-5 juta ton. Dengan demikian harga bisa membaik sehingga bisa membantu harga kita," ujarnya di Jakarta, seperti ditulis Jumat (22/1/2016)

‎Daud yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Smart Tbk ini mengungkapkan, turunnya harga CPO pada tahun lalu yang rata-rata berada pada kisaran US$ 600 per metrik ton dipengaruhi oleh anjloknya harga minyak dunia.

Jika harga minyak dunia pada awal tahun ini berada di kisaran US$ 30 per barel, maka upaya untuk mendorong kenaikan harga CPO semakin sulit. Oleh sebab itu dibutuhkan penyerapan CPO yang lebih besar di dalam negeri melalui penggunaan biodisel kendaraan.

‎"Harga CPO ini melemah terkait dengan harga minyak bumi yang turun. Sedangkan ada faktor harga karena supply and demand dan substitusi minyak pengganti (soy bean oil, sun flower dan lain-lain). Jadi bagaimana supply and demand minyak CPO dan supply and demand minyak lain," kata dia.


Sementara dari sisi produksi, Daud menyatakan tiap tahunnya biaya produksi mengalami kenaikan. Salah satunya disebabkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Namun pada tahun ini diharapkan kenaikan biaya produksi tidak terlalu tinggi karena pemerintah telah menurunkan harga BBM pada awal tahun sehingga diharapkan bisa memangkas biaya logistik industri.

"Sedangkan biaya produksi memang meningkat setiap tahun karena upah naik terus. Tapi tahun-tahun terakhir selain upah naik ada juga yang turun yaitu ongkos transportasi turun karena minyak dunia dan BBM turun. Pupuk-pupuk yang berbasis minyak bumi juga turun," jelasnya.

Meski demikian, lanjut Daud industri pengolahan kelapa sawit dalam negeri tidak hanya menggantungkan diri pada naik turunnya harga CPO global. Sejumlah langkah telah dilakukan untuk menjaga keberlangsungan industri yaitu berupa efisiensi dan peningkatan produktifitas.

"Tetapi yang terpenting sebagai pekebun kelapa sawit tidak hanya bisa mengandalkan harga tapi harus bisa meningkatkan produktifitas kebun, meningkatkan produksi CPO per hektar dengan cara tanamannya lebih baik, sistem pemupukan lebih baik, mekanisasi diperkebunan sehingga output pekerja produktifitas naik," tandasnya.(Dny/Nrm)





Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya