Liputan6.com, Jakarta - Dealer PT Mabua Motor Indonesia yang menjual produk Harley-Davidson dikabarkan tutup karena serentetan pajak yang mencekik perusahaan. Apa jawaban pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atas kasus tersebut?
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Mekar Satria Utama mengungkapkan, pengenaan pajak penghasilan (PPh) 22 impor dikenakan bagi Wajib Pajak importir yang melakukan impor motor gede (moge) dan dapat dikreditkan di SPT Tahunan PPh.
"Sedangkan pungutan PPh 22 barang sangat mewah untuk moge serta kenaikan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) memang bertujuan untuk membatasi konsumsi," kata Mekar saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Advertisement
Â
Baca Juga
Dengan kata lain, sambungnya, pengenaan pajak-pajak tersebut akan berpengaruh terhadap harga jual motor Harley Davidson. Menurut Mekar, hal itu dianggap wajar, mengingat pembeli atau konsumen moge ini merupakan kalangan atas. "Kalau mau punya motor itu, ya harus membayar mahal," tegas Mekar.
Selama ini, diakuinya, belum ada pengusaha atau perusahaan yang datang dan mengeluhkan tentang tarif pajak tersebut kepada Ditjen Pajak. "Belum ada kok yang datang ke kami mengeluhkannya. Jadi seharusnya pajak bukan menjadi alasan dari ketidakmampuan perusahaan bersaing atau efisiensi," terang Mekar.
Kata Mekar, pemerintah membuka kesempatan merelaksasi atau melonggarkan kebijakan, termasuk terkait pungutan pajak apabila terbukti membebani dunia usaha. Namun semua itu perlu dilakukan kajian terlebih dahulu mengenai dampaknya.
"Kita terbuka kok, seperti PPN sapi kemarin yang sudah direvisi. Kalaupun minta direlaksasi, perlu dikaji dulu dampaknya sejauh mana tidak serta merta hanya karena misalnya dealer Harley tutup saja," katanya.
Seperti diketahui, penutupan dealer PT Mabua Motor Indonesia di Iskandarsyah pada Oktober 2015 tak banyak membantu. Alih-alih melakukan efisiensi, agen Harley-Davidson justru tak kuat menahan beban.
Surat yang mengatasnamakan Presiden Direktur PT Mabua Harley-Davidson Djonnie Rahmat menyedot perhatian. Secara terang benderang, mereka mengaku tak kuat lagi menjual motor gede (moge) asal Amerika itu di dalam negeri.
Sebagaimana yang tertuang pada surat itu, ada banyak kendala yang harus dihadapi para pemain motor besar.
Tentu saja pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak 2013 membuat langkah perusahaan tertatih-tatih. "Sampai saat ini mencapai lebih kurang 40 persen (pelemahannya)," kata Djonnie.
Parahnya lagi, aturan yang diterbitkan pemerintah kian memperparah kondisi. Tarif bea masuk serta pajak terkait dengan impor dan penjualan besar makin membuat konsumen enggan membeli motor besar.
Djonnie menambahkan ada empat aturan yang selama ini memberatkan importir motor besar, yakni:
PMK No 175/PMK.011/2013 tentang Kenaikan Tarif PPh 22 Import dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen;
PP No 22 Tahun 2014 tentang Kenaikan Pajak Penjualan Barang Mewah dari 75 persen menjadi 125 persen;
PMK No 90/PMK.03/2015 tentang Penetapan Tarif PPh 22 Barang Mewah untuk Motor Besar dengan Kapasitas Mesin di Atas 500 cc dari 0 persen menjadi 5 persen; dan
PMK No 132/PMK.010/2015 tentang Kenaikan Tarif Bea Masuk Motor Besar dari semula 30 persen menjadi 40 persen.
"Total keseluruhan pajak untuk importasi motor besar mencapai hampir 300 persen, tidak termasuk bea balik nama dan lain-lain. Faktor-faktor di atas telah mengakibatkan kelesuan pasar serta penurunan minat beli," tutur Djonnie. (Fik/Zul)