Toko Ritel RI Siap Buka Cabang di Luar Negeri

Sejumlah perusahaan ritel berjaringan di Indonesia tengah menjajaki peluang ekspansi ke beberapa negara Asia Tenggara pada tahun ini

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Mar 2016, 09:03 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2016, 09:03 WIB
20151217-Kemendag Wajibkan Peraturan SNI Kepada Pengusaha Ritel
Suasana di pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, (16/12). Aturan pencantuman tersebut selain bagi importir atau produsen, juga diwajibkan bagi pedagang pengumpul. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah perusahaan ritel berjaringan di Indonesia tengah menjajaki peluang ekspansi ke beberapa negara Asia Tenggara pada tahun ini. Realisasi aksi korporasi tersebut masih terganjal aturan yang ketat dari masing-masing negara untuk memproteksi industri ritel nasional.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy N Mande mengungkapkan, beberapa perusahaan ritel berencana mengikuti jejak salah satu toko ritel, Alfamart membuka gerai di negara ASEAN. Berdasarkan catatannya, Alfamart telah membuka sekitar 110 toko di Filipina hingga saat ini.

"Kurang dari 10 perusahaan ritel yang sedang menjajaki ekspansi di luar negeri, terutama negara ASEAN, antara lain Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Myanmar," ujarnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Minggu (20/3/2016).

Saat ini, diakui Roy, peritel masih melakukan aksi lihat dan tunggu (wait and see) dengan perkembangan aturan di negara ASEAN. Menurutnya, walaupun sudah memasuki era perdagangan bebas ASEAN (MEA), masing-masing negara tersebut mempunyai Daftar Negatif Investasi (DNI), salah satunya di bidang usaha ritel dengan tujuan menjaga industri ritel nasional mereka.

"Sekarang ini peritel masih walking around, karena untuk bisa masuk ke negara lain ada aturan ketat, seperti tidak bisa masuk 100 persen, harus joint venture dengan perusahaan lokal. Kalaupun dapat izin, produk lokal yang dijual harus lebih banyak dibanding produk dari Indonesia," terangnya.

Roy mencontohkan, Alfamart mengantongi izin membuka gerai di Filipina karena harus menggandeng perusahaan ritel setempat. Produk lokal Filipina yang dijual di gerai Alfamart juga harus lebih besar daripada produk Indonesia, bahkan prosentasenya sampai 90 persen.

"Kalau cuma 10 persen produk kita yang dijual di sana, untungnya bagaimana. Karena produk asing yang di negara lain eskalasi harganya berbeda. Makanya mereka (peritel) belum menyatakan oke masuk ke negara ASEAN, karena harus melihat regulasinya dulu, sementara untuk pasar tidak ada masalah," jelas Roy.

Jika diamati, ia mengaku, produk Indonesia sangat diminati di negara-negara ASEAN. Roy menyebut, jamu-jamu dan kosmetik tradisional, makanan dengan ciri khas sambal balado, mie instan, kecap, bumbu-bumbu dapur dari Indonesia begitu digemari masyarakat negara lain.

"Tapi menjualnya susah, karena terbentur aturan. Tidak semudah yang dipikirkan," ucapnya.

Oleh sebab itu, Roy meminta agar pemerintah Indonesia memfasilitasi pengusaha ritel melebarkan sayap ke negara lain. Salah satu caranya, sambung dia, bernegosiasi dengan pemerintah negara ASEAN supaya ritel modern Indonesia mendapatkan izin membuka toko.

"Negosiasi pemerintah lebih gencar lagi supaya kita bisa masuk ke negara lain. Kalau kita yang melobi, biaya tinggi dan belum tentu berhasil karena kita kan swasta. Kalau government to government kan bisa lebih membuka jalan kita," harap Roy.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya