Menkeu Telah Selidiki Data Panama Papers, Ini Hasilnya

Ditjen Pajak langsung bergerak cepat menelusuri kebenaran nama-nama pebisnis dan politikus yang masuk dalam daftar Panama Papers.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 11 Apr 2016, 18:05 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2016, 18:05 WIB
Ilustrasi skandal Panama Papers
Ilustrasi skandal Panama Papers (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Bocoran 11,5 juta dokumen Panama Papers menarik perhatian bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Alasannya, beberapa nama yang terdapat di dalam daftar tersebut diduga melakukan penghindaran pajak, bahkan diduga sebagai pengemplang pajak. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan langsung bergerak cepat menelusuri kebenaran nama-nama pebisnis, politikus, maupun perusahaan yang terseret dalam kasus tersebut.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro, mengaku telah melakukan pencocokan data terutama nama orang-orang Indonesia di Panama Papers dengan nama Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki rekening di luar negeri berdasarkan data Ditjen Pajak.

"Kami meyakini kecocokan 79 persen. Artinya 79 persen nama orang Indonesia yang ada di Panama Papers diyakini punya rekening di luar negeri," ucap Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (11/4/2016).

Ketika dihujani pertanyaan berani atau tidak Ditjen Pajak melakukan penindakan terhadap para pengemplang pajak yang namanya masuk dalam daftar Panama Papers tersebut, Bambang menjawab datar. Menurut dia, sesuai dengan peta jalan Ditjen Pajak 5 tahun, tahun ini merupakan tahun penegakan hukum.

"Kami akan melakukan penegakan hukum sejalan dengan program Ditjen Pajak. Kami akan kejar pajak tersebut, kami kejar kenapa aset tersebut tidak dilaporkan. Ini yang jadi sasaran kami, apabila aset termasuk rekening yang di luar negeri belum dilaporkan ke Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak," ia menjelaskan.

Ia berharap DPR dapat membantu menggolkan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (tax amnesty) menjadi undang-undang, termasuk membuka akses perbankan untuk kepentingan pajak pada revisi UU Perbankan. Artinya kerahasiaan perbankan dikecualikan untuk pajak.

Alasan Bambang, meski saat ini sudah diizinkan mengintip data nasabah bank, tapi hanya diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang sedang dalam pemeriksaan. Itu pun harus melalui proses panjang, surat permohonan akses data nasabah bermula dari Ditjen Pajak ke Kemenkeu. Kemudian dari Kemenkeu harus ditandatangani dengan tinta basah untuk diteruskan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan dari OJK baru kemudian diserahkan ke bank.

"Ini jelas tidak efektif, padahal di Amerika, Jepang sudah dibuka, bahkan Swiss sekali pun yang sebelumnya sangat ketat dengan kerahasiaan bank," ia menjelaskan.

Sementara program pengampunan pajak, diakui Bambang punya 2 kelebihan. Pertama, mendorong repatriasi dan kedua, menguak data aset maupun harta kekayaan di lebih dari 2 negara. Saat ini, Ditjen Pajak baru mempunyai data orang-orang Indonesia yang mempunyai rekening di luar negeri sebanyak 2 negara.

"Padahal kita yakin, simpanan itu ada di lebih dari 2 negara. Makanya keterbukaan (perbankan) ini perlu supaya kita bisa asas resiprokal apabila mau mengakses data orang Indonesia di bank-bank luar negeri, seperti Singapura bisa lebih mudah. Kita minta data di luar negeri, luar negeri pun minta data ke kita," papar Bambang. (Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya