Liputan6.com, Jakarta - Penurunan harga gas akan membuat pendapatan negara turun, namun hal tersebut menciptakan dampak postif bagi pertumbuhan sektor industri nasional. Penurunan harga gas tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, dalam menurunkan harga gas industri, yang dikorbankan adalah bagian negara sehingga penerimaan negara dari gas berkurang.
Namun, penurunan harga gas tersebut dapat menciptakan keuntungan baru seperti menekan biaya produksi sehingga harga barang bisa lebih murah. Tak hanya itu, penurunan harga gas juga bisa meningkatkan daya saing industri nasional dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
Baca Juga
"Penurunannya cukup banyak, tapi multiplier effect-nya juga banyak," kata Wirat, seperti yang dikutip, di Jakarta, Sabtu (28/5/2016).
Untuk formula penentuan harga gas, pemerintah menggunakan banyak indikator, antara lain wilayah, tingkat kesulitan, panjang pipa dan volume gas. Dengan adanya kebijakan tersebut, harga gas hampir sama dari satu daerah dengan daerah lainnya.
“Melalui penataan ini, harga gas menjadi lebih adil antar daerah," tegas Wirat.
Penataan harga ini akan tertuang dalam peraturan teknis yang akan dirilis berupa Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang penetapan harga gas.
"Permennya segera terbit, bulan depan,” ungkapnya.
Pemerintah juga akan mengatur harga pada tingkat penjual, sehingga badan usaha tidak bisa semaunya menetapkan harga gas, berdasarkan formula pembentukan harga gas yang telah ditetapkan.
Sekadar informasi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 3 Mei 2016.
Dalam Perpres tersebut, harga gas bumi ditetapkan oleh Menteri ESDM yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, sebagai dasar perhitungan bagi hasil pada Kontrak Kerja Sama (KKS) dan dasar perhitungan penjualan gas bumi yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerjasama Minyak dan gas bumi.
Menteri menetapkan harga gas bumi dengan mempertimbangkan, Keekonomian lapangan, harga gas bumi di dalam negeri dan internasional, Kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan nilai tambah dari pemanfaatan gas bumi di dalam negeri, hal tersebut merupakan bunyi Pasal 2 ayat (2) Perpres tersebut.
Menurut Perpres ini, dalam hal harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas Bumi dan harga Gas Bumi lebih tinggi dari US$ 6 per MMBTU, Menteri ESDM dapat menetapkan harga gas bumi tertentu.
Penetapan harga gas bumi tertentu diperuntukkan bagi pengguna gas bumi yang bergerak di bidang industri pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca dan industri sarung tangan.
Perubahan Gas Bumi yang dapat dikenakan Harga Gas Bumi Tertentu ditetapkan oleh Menteri ESDM, setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, bunyi Pasal 4 ayat (2) Perpres tersebut.
Pada Pasal 5 ayat (3) Perpres tersebut Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi wajib melakukan penyesuaian harga gas bumi yang dijual kepada pengguna gas bumi sesuai dengan penyesuaian harga gas bumi yang dibeli oleh kontraktor.
Ditegaskan dalam Perpres tersebut, penetapan harga gas bumi tertentu tidak mempengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian kontraktor (produsen gas). Untuk itu, menurut Perpres ini, Kepala SKK Migas melakukan perhitungan penerimaan negara atas penetapan harga gas bumi tertentu dengan berkoordinasi dengan Menteri ESDM dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara (Menkeu).
Untuk perhitungan penerimaan negara sebagaimana dimaksud berdasarkan penetapan Harga Gas Bumi Tertentu setelah memperhitungkan besaran penerimaan yang menjadi bagian Kontraktor,” bunyi Pasal 6 ayat (3) Perpres tersebut.
Perpres ini juga menegaskan, Menteri ESDM melakukan evaluasi penetapan Harga Gas Bumi Tertentu setiap tahun atau sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri. (Pew/Ndw)