Pemerintah Minta Pelemahan Rupiah Tak Perlu Dikhawatirkan

Rupiah terdepresiasi murni karena faktor eksternal

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Mei 2016, 10:00 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2016, 10:00 WIB
20151009-Dollar-Turun
Pengunjung memperlihatkan uang pecahan US$100 di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - ‎Sepekan kemarin, nilai tukar rupiah terhempas hingga menembus 13.700 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan tersebut dipicu sinyal kenaikan suku bunga Bank Sentral AS pada Juni 2016 sehingga mengakibatkan dana asing kabur dari pasar modal Indonesia.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter, Bobby Hamzar Rafinus mengungkapkan, rupiah terdepresiasi murni karena faktor eksternal, yakni rencana penyesuaian kembali Fed Fund Rate pada pertengahan tahun ini. Sebelumnya, Bank Sentral AS telah menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin pada akhir 2015.

"Fundamental ekonomi kita baik-baik saja, tidak ada masalah. Tapi pelemahan rupiah karena perkiraan kenaikan suku bunga The Fed pada Juni ini," terangnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (29/5/2016).

 

Menurut Bobby, Indonesia sudah terbiasa menghadapi ketidakpastian kenaikan suku bunga AS yang berdampak pada terombang-ambingnya mata uang garuda dan mendorong penguatan dolar AS.

Dengan demikian, dia meminta agar sinyal kebijakan The Fed kali ini tidak perlu dikhawatirkan meski telah terjadi keluarnya dana asing (capital outflow) dari pasar modal Indonesia.

"Asal ada pengumuman The Fed, pasti rupiah melemah. Ini pola yang sudah dialami beberapa tahun, tidak perlu risau walaupun memang ada investor yang melepas sahamnya, tapi nett masih positif. Belum ada capital outflow yang mengkhawatirkan, malah banyak (investasi) yang masuk," jelas Bobby.

Dirinya mengaku, pemerintah akan terus berupaya menjaga stabilitas ekonomi dari sisi fiskal dan mendorong peningkatan iklim investasi di Tanah Air. Salah satunya dengan kebijakan jangka menengah dan panjang, seperti pengendalian harga, deregulasi dan debirokratisasi, serta persiapan paket kebijakan berikunya untuk menaikkan peringkat kemudahan berusaha (doing business).

"Itu kan intervensi jangka menengah-panjang, tidak bisa dirasakan instan dalam jangka pendek untuk memperkuat rupiah. Kalau intervensi rupiah jangka pendek dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter," ucap Bobby.

Untuk diketahui, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (JISDOR), kurs rupiah bergerak melemah ke level Rp 13.671 per dolar AS pada Rabu (25/5). Lalu sedikit menguat ke level Rp 13.615 per dolar AS di tiga hari lalu (26/5) dan pada penutupan perdagangan akhir pekan (27/5), nilai tukar rupiah terapresiasi Rp 13.575 per dolar AS

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya