Dolar AS Menguat Tekan Harga Minyak Dunia

Sejumlah sentimen negatif antara lain kekhawatiran pasar terhadap kenaikan suku bunga AS dan dolar AS menguat menekan harga minyak.

oleh Agustina Melani diperbarui 14 Jun 2016, 05:08 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2016, 05:08 WIB
20151007-Ilustrasi Tambang Minyak
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, New York - Harga minyak dunia merosot di awal pekan ini seiring dolar Amerika Serikat (AS) menguat dan prospek ekonomi kurang cerah di Eropa dan Asia. Akan tetapi, harga minyak mendapatkan dukungan dari pasokan di Nigeria.
 
Harga minyak dunia jenis Brent turun 19 sen atau 0,4 persen menjadi US$ 50,35 per barel. Diikuti harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat susut 19 sen atau 0,4 persen menjadi US$ 48,88 per barel.
 
Pada pekan lalu, harga minyak dunia sempat menguat ke level tertinggi di US$ 50 per barel seiring kekhawatiran pelaku pasar terhadap sabotase fasilitas minyak di Nigeria.

Sementara itu, The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) menyatakan produksi turun 100 ribu barel per hari pada Mei, yang dipimpin oleh Nigeria.
 
Indeks dolar AS naik 1,4 persen yang didorong kekhawatiran terhadap isu Brexit. Pelaku pasar juga khawatir terhadap potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS atau the Federal Reserves.Ketidakpastian terhadap kenaikan suku bunga bank sentral AS telah menekan harga minyak.
 
Penguatan dolar AS membuat impor minyak dunia menjadi lebih mahal bagi negara menggunakan mata uang lainnya.
 
"Pasar minyak sekarang dipengaruhi sejumlah faktor makro dan kenaikan pengeboran minyak. Namun sisi lain Niger Delta Avengers mempengarugi geopolitik, dan kelihatannya akan lebih buruk," tutur Michael Tran, Direktur RBC Capital Markets seperti dikutip dari laman Reuters, Selasa (14/6/2016).
 
Selain itu, kekhawatiran pelaku pasar terhadap referendum di Inggris juga mendorong saham jatuh. Akan tetapi, pelaku pasar menilai hal itu dapat memberikan keuntungan bagi harga minyak.
 
"Sepertinya investor menjauhi pasar menjelang pertemuan bank sentral AS dan referendum Inggris terhadap keanggotaannya di Uni Eropa," tutur Tim Evans, Analis Citi Futures. (Ahm/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya