Ini Cara Seimbangkan Neraca Perdagangan Indonesia-Tiongkok

Neraca perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit besar senilai US$ 8,88 miliar sepanjang Januari-Juni 2016.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 15 Jul 2016, 19:48 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2016, 19:48 WIB
20151022-Bongkar Muat Peti Kemas-Jakarta
Ratusan peti kemas di area JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (22/10/2015). Mendag Thomas T. Lembong memproyeksikan, kinerja ekspor hingga akhir tahun akan turun 14% dan impor turun 17% secara year on year. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tiongkok mencatatkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen di kuartal II 2016. Laju ekonomi ini paling lambat dalam tujuh tahun sejak krisis keuangan pada awal 2009. Kondisi ini akan berdampak terhadap permintaan ekspor Indonesia ke negara tersebut.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo menilai, pertumbuhan ekonomi 6,7 persen terbilang rendah mengingat Tiongkok terbiasa dengan realisasi dua digit. Dengan pertumbuhan ekonomi dua digit, permintaan atas komoditas maupun produk Indonesia sangat besar.

"Buat ukuran Tiongkok, pertumbuhan ekonomi segitu rendah. Permintaan ekspor bisa turun, dan dampaknya ke kita terasa sekali," ujar dia usai Rilis Neraca Perdagangan Juni di kantor BPS, Jakarta, Jumat (15/7/2016).

Menurut Sasmito, Indonesia masih berpeluang meningkatkan ekspor komoditas maupun produk ke Tiongkok, selain minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan batu bara. Potensi besar bagi Indonesia menggenjot ekspor buah-buahan tropis ke Tiongkok.

"Tapi syaratnya kualitas harus bagus, misalnya seperti Manggis, itu mesti tidak ada yang cacat, kelopak manggis kalau enam, ya harus enam. Semua harus sama. Ini tantangan buat eksportir kita," paparnya.

Dengan basis penduduk 1,2 miliar juta jiwa, Indonesia dapat menggarap pasar China. Di sini membutuhkan kreatifitas dari eksportir. Jika tidak, sambung dia, Indonesia hanya akan diserbu produk dari China tanpa mampu menyeimbangkan neraca perdagangan.

Dari data BPS, neraca perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit besar senilai US$ 8,88 miliar sepanjang Januari-Juni 2016. Ekspor Indonesia ke China hanya US$ 6,08 miliar, sementara nilai impor mencapai US$ 14,96 miliar.

Khusus di Juni ini, defisit perdagangan Indonesia dan China sebesar US$ 1,48 miliar. Impor China ke Indonesia mencapai US$ 2,70 miliar, sedangkan ekspor Indonesia hanya US$ 1,21 miliar.

"Kita harus melakukan penetrasi pasar, kreatif dengan masuk wilayah Xinjiang di China yang mayoritas penduduknya muslim atau ke Beijing, bahkan ke daerah Utara China yang memproduksi pakaian musim dingin. Tapi kuncinya kualitas, kalau semua bagus, bisa lolos ekspor," Sasmito menerangkan.

Terkait tenaga kerja China yang dikabarkan menyerbu Indonesia, Sasmito menampiknya. Dia menegaskan, tidak ada lonjakan signifikan masuknya tenaga kerja China ke negara ini.

"Secara resmi tidak terjadi lonjakan jumlah tenaga kerja China yang masuk ke Indonesia. Kalau yang ilegal tidak tahu ya, karena turis dari China yang ke sini banyak sekali. Dikhawatirkan dia bekerja di sini dan sepanjang tidak tertangkap, ya dijalanin terus," jelasnya.

Menurut dia, tenaga kerja China yang berkompeten dan mempunyai keahlian ada yang bekerja di Indonesia. Itu karena permintaan dari pemilik modal yang menanamkan investasi di Indonesia. "Investasi dari China kan banyak, mereka juga mau mempekerjakan warganya. Tapi aturannya kan yang skill, bukan unskill," ujar Sasmito.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya