Ini Catatan DPR di Sektor Energi buat Pemerintah

Kemajuan capaian di sektor energi dinilai belum menunjukkan hasil maksimal.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Okt 2016, 14:53 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2016, 14:53 WIB
Panas Bumi merupakan salah satu energi baru terbarukan.
Panas Bumi merupakan salah satu energi baru terbarukan.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) genap berusia 2 tahun. Namun kemajuan capaian di sektor energi dinilai belum menunjukkan hasil maksimal.

Ini diungkapkan Anggota Komisi VII DPR Rofi Munawar‎ yang mengatakan, produksi minyak yang terus turun, perpanjangan relaksasi mineral, usulan penurunan harga gas menjadi catatan sepanjang dua tahun Pemerintahan Jokowi-JK.

"Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK kita belum tahu arah pasti pengelolaan energi nasional mau dibawa kemana," ujar Rofi di Jakarta, Kamis (20/10/2016).

Rofi melanjutkan, demikian pula pada Program Kelistrikan 35 ribu Mega Watt (MW) yang belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Hingga September 2016, pembangkit listrik yang baru beroperasi hanya mencapai 164 MW  atau sekitar 1 persen.

Sedangkan yang melakukan tahap konstruksi sebesar 8.687 MW dan yang dalam kondisi kontrak namun belum dibangun sebesar 8.641 MW. Sisanya masih dalam tahap pengadaan atau penawaran sebesar 1.481 MW.

"Sebanyak 34 pembangunan pembangkit mengalami mangkrak, 24 proyek dalam kondisi terlambat dan 10 proyek yang belum beroperasi Commercial Operation Date (COD). Blue print belum terlihat dan Program-program monumental yang dicanangkan belum nampak progress-nya. Seperti  proyek 35 ribu MW dalam rangka mengejar target elektrifikasi nasional, masih banyak yang terkendala dan mangkrak," tutur Rofi.

Dia juga memberikan catatan khusus terkait pengelolaan energi di sektor mineral dan batu bara, Rofi memandang komitmen pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara terkait renegosiasi kontrak sangat rendah.

Padahal di dalamnya ada kewajiban yang harus ditunaikan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) paling lambat per 11 Januari 2017 berbekal beleid Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2014.

"Ada waktu yang terbuang hampir 8 tahun terkait penerapan nilai tambah ini (smelter), progress-nya jauh dari apa yang diharapkan. Ironisnya pemerintah akan memberlakukan kembali relaksasi ekspor mineral kepada perusahaan yang belum merampungkan fasilitas pemurniannya," ungkap dia.

Demikian pula tentang blok migas yang akan habis kontrak pada 2018 - 2019. Pemerintah belum mengambil keputusan akan diserahkan ke perusahaan lokal atau diperpanjang ke pengelola saat ini. Seperti Blok Migas yang akan habis di tahun 2018 yang dikelola SES (CNOOC), Tuban, dan Sanga-Sanga (PetroChina).

"Ada baiknya mulai memikirkan strategi perpanjangan untuk pengelolaan migas yang berkelanjutan dan mendukung kemandirian energi nasional. Ada baiknya pengelolaan berbasis potensi dalam negeri" dia menjelaskan.

Selain itu, program  energi nasional berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai masih jauh dari target. Padahal sudah didukung dengan regulasi yang memadai dan komitmen energi bersih.

"Perlu ada keseriusan pemerintah mengelola sektor energi yang tidak hanya berbasis pada fosil, selain harga yang saat ini tidak kompetitif dan juga sifatnya terbatas (non renewable) untuk dijadikan tumpuan energi di masa yang akan datang. Program pengembangan EBT tidak bisa ditawar-tawar lagi harus segera dan terencana" pungkas dia.

(Pew/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya