Sistem Pembiayaan Perumahan Nasional Belum Efisien

Sistem pembiayaan perumahan yang efisien akan membuat prosedur untuk memiliki rumah akan menjadi lebih sederhana dan harga lebih terjangkau.

oleh Muhammad Rinaldi diperbarui 11 Nov 2016, 15:37 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2016, 15:37 WIB

Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia merupakan salah satu yang terendah di Asia. Produksi KPR relatif sangat kecil, sehingga sulit dijangkau sebagian besar masyarakat.

Rasio KPR terhadap PDB misalnya, sejak 1996 hingga 2015 tercatat hanya berkisar 2,8 persen. Ini sangat jauh di bawah capaian Malaysia dan Korea Selatan pada 2015, masing-masing sebesar 37,8 persen dan 26 persen.

“Ini semua terjadi karena sistem pembiayaan perumahan di Indonesia belum efisien, terutama disebabkan terbatasnya akses ke dana jangka panjang, tingkat inflasi, tingkat suku bunga fluktuatif, serta lemahnya regulasi dan penegakan hukum di Tanah Air,” ujar Pakar Pembiayaan Perumahan, Erica Soeroto yang ditulis Liputan6.com, Jumat (11/11/2016).

Padahal, ungkap Erica, sistem pembiayaan perumahan yang efisien akan membuat prosedur untuk memiliki rumah akan menjadi lebih sederhana dan harga lebih terjangkau masyarakat.

Semakin rendah biaya untuk mendapatkan KPR, maka semakin banyak masyarakat yang mampu membeli rumah karena porsi angsuran KPR lebih rendah dibanding pendapatan.

Pada akhirnya, ini akan meningkatkan permintaan rumah dan merangsang pertumbuhan industri lain yang terkait sektor properti.

Seperti halnya struktur keuangan nasional, selama ini sistem pembiayaan perumahan di Indonesia masih sangat tergantung pada perbankan yang lebih mengandalkan dana-dana jangka pendek dari tabungan maupun deposito masyarakat.

Padahal dana jangka pendek kurang cocok disalurkan untuk KPR yang bersifat jangka panjang. Akibatnya terjadi miss match sumber pembiayaan yang berdampak pada minimnya perbankan yang siap menyalurkan KPR kepada masyarakat.

“Setelah krisis 1998, otoritas moneter menempuh program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan meningkatkan fungsi pengawasan dengan penekanan pada ruang gerak perbankan untuk menghindari perilaku spekulatif. Setelah itu pembiayaan perumahan dibiarkan mengalir mengikuti mekanisme pasar, nyaris tanpa regulasi dan tanpa mitigasi risiko yang memadai,” papar  Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) periode pertama itu.

Oleh karena itu, seperti halnya di negara-negara lain upaya untuk membenahi pembiayaan perumahan agar lebih efisien tidak dapat tumbuh tanpa dukungan pemerintah.

Beberapa langkah yang dilakukan sejumlah negara-negara berkembang di Asia yang juga mengalami krisis pada 1998 untuk menciptakan sistem pembiayaan perumahan yang baik antara lain menghapus berbagai kendala yang menghambat pertumbuhan KPR yang sehat, mendukung efisiensi dan pengelolaan risiko yang baik, serta membuka akses ke sumber pendanaan di pasar modal yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.

Kenapa harus pasar modal?. Erica menyebutkan, meskipun dapat dilakukan melalui banyak cara, namun pengalaman internasional menunjukkan bahwa sistem paling efisien dan berkelanjutan untuk memastikan sumber pembiayaan jangka panjang adalah lewat pendanaan dari pasar modal terutama pasar obligasi.

Hal ini juga sejalan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk melepas ketergantungan pada  perbankan dengan mendorong pertumbuhan pasar modal.

Dia mengakui, pemerintah sebenarnya telah mendirikan PT SMF yang bertugas memfasilitasi ketersediaan likuiditas dengan mengakses dana pasar modal melalui sekuritisasi aset KPR.

Namun sayang, kata Erica, tugas SMF tidak fokus, dan tidak jelas segmen masyarakat mana yang akan diungkit keterjangkauannya. SMF didirikan tanpa penjaminan dari pemerintah, sementara di banyak negara sejak awal pendirian lembaga serupa menerima penjaminan agar memiliki peringkat kredit yang tinggi sehingga mampu mengakses dana jangka panjang yang lebih murah.

“Yang diperlukan SMF itu adalah peringkat kredit yang tinggi bukan modal yang besar untuk mengejar target peningkatan aset dan laba. Dengan peringkat kredit tinggi, maka dana yang ditawarkan SMF akan lebih menarik dibanding perbankan. Ini yang perlu dilakukan pemerintah,” tegas pengarang buku "Menggagas Sistem Pembiayaan Perumahan yang Efisien" itu. (Muhammad Rinaldi/nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya