Trump Resmi Jadi Presiden AS, Tantangan Rupiah Makin Berat

Saat the Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,75 persen pada Desember 2016, nilai tukar rupiah terdepresiasi 59 poin.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Jan 2017, 08:15 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2017, 08:15 WIB
Rupiah
Saat the Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,75 persen pada Desember 2016, nilai tukar rupiah terdepresiasi 59 poin.

Liputan6.com, Jakarta - Gejolak nilai tukar rupiah diperkirakan bakal semakin tinggi di tahun ini. Kebijakan dari Presiden AS Donald Trump yang proteksionis dan juga rencana kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (the Fed) akan menjadi sentimen yang membayang-bayangi nilai tukar rupiah.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto memperkirakan The Fed akan menyesuaikan Fed Fund Rate (FFR) secara bertahap sebanyak dua atau tiga kali sepanjang 2017.

"Membaca arahnya sih kenaikan FFR lebih dari sekali, bisa dua atau tiga kali sehingga tantangan rupiah terhadap dolar AS akan lebih besar di 2017 dibanding tahun lalu," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (23/1/2017).

Eko lebih jauh menuturkan, ketergantungan Indonesia terhadap mata uang dolar AS sangat besar. Sekitar 75 persen transaksi perdagangan Indonesia menggunakan dolar AS. Inilah pentingnya yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mulai beralih ke mata uang lain sebagai alternatif transaksi perdagangan.

"Idenya Presiden kan diversifikasi ke yuan, yen, euro, dan pound sterling. Misalnya sekarang kita punya banyak proyek dengan Jepang, ada kereta cepat, Pelabuhan Patimban, nah itu tidak harus dengan dolar AS tapi diversifikasi ke yang lain," terangnya.

Dengan cara ini, Eko menilai, guncangan kurs rupiah tidak akan terlalu kencang karena Indonesia mampu mengurangi kebutuhan terhadap dolar AS. Pasalnya selama ini, Bank Indonesia (BI) harus menguras cadangan devisa (cadev) sebagai langkah intervensi saat mata uang Garuda terdepresiasi cukup dalam.

Menjaga nilai tukar rupiah, diakuinya, dapat melalui upaya lain. Pertama, menjaga kepercayaan pasar dengan terus memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia, diantaranya pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit fiskal, defisit transaksi berjalan, dan sebagainya yang menjadi indikator makro ekonomi negara ini.

"Mau FFR naik, statement Trump kontradiktif, kalau kita bisa menunjukkan pertumbuhan ekonomi, inflasi terjaga, ekspor meningkat, maka akan cukup meredam gejolak kurs rupiah karena didukung dengan realisasi data yang lebih baik," jelas Eko.

Eko memperkirakan nilai tukar rupiah tahun ini di kisaran Rp 13.500 per dolar AS. Sedikit melemah dibanding proyeksi pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar Rp 13.300 per dolar AS.

"Proyeksi kita memang lebih melemah dibanding pemerintah karena isu tadi, FFR bakal naik dan kebijakan Trump yang berseberangan dengan presiden sebelumnya," terangnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan The Fed telah berencana menaikkan suku bunga acuannya hingga ke level 1,75 persen pada akhir 2017.

Dia menambahkan, aliran modal keluar dari Indonesia berpotensi meningkat lebih tinggi dibanding periode-periode sebelumnya ketika tingkat suku bunga the Fed masih cukup rendah. "Dampaknya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin tinggi di 2017," ujarnya.

Dirinya mengungkapkan, pada saat The Fed menaikkan suku bunga acuan (FFR) 25 basis poin menjadi 0,75 persen pada Desember 2016, nilai tukar rupiah terdepresiasi 59 poin dari Rp 13.367 per dolar AS menjadi Rp 13.426 per dolar pada 16 Desember 2016. Itu dengan suku bunga BI 7 day Reverse Repo tetap dipertahankan pada level 4,75 persen.

"Diperkirakan BI 7 Day Repo Rate belum akan bergerak turun, bahkan berpotensi untuk meningkat. Apalagi, potensi kenaikan inflasi tahun ini akan lebih tinggi dibanding 2016," tandas Faisal. (Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya