Menaker: Tenaga Kerja Bukan Alat Buat Tekan Pemerintah

Pemerintah ingin ada keseimbangan pada kerja sama dengan Freeport usai puluhan tahun perusahaan tersebut mengambil sumber daya alam di RI.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 24 Mar 2017, 18:36 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2017, 18:36 WIB
20151119- Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri-Jakarta-Johan Tallo-0
Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/11). Rapat tersebut membahas isu-isu terkait permasalahan tenaga kerja di Indonesia.(Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri terus memantau perundingan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM) dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait keberlangsungan proses penambangan. Hanif menelankan, dalam perundingan tersebut sebaiknya tidak menggunakan pekerja sebagai alat untuk menekan.

"Jadi kalau ingin negosiasi jalankan saja, yang penting jangan sampai tenaga kerja menjadi alat untuk menekan. Kalau ada masalah ya dirundingkan baik-baik dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM," kata dia di Kementerian Tenaga Kerja Jakarta, Jumat (24/3/2017).

Hanif belum memberikan jawaban terkait adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan Freeport Indonesia. "Saya harus cek dulu, saya tidak bisa memberikan pernyataan kalau belum baca datanya," ungkap dia.

Pada kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, proses perundingan antara pemerintah dengan Freeport Indonesia terkait divestasi saham, ketentuan pajak, serta pembangunan smelter terus berlangsung. Terkait perundingan itu, Freeport Indonesia diminta tunduk pada aturan pemerintah jika tetap ingin mengeruk emas dan tembaga di Indonesia.

Luhut menganalogikan Freeport sebagai penyewa rumah di Indonesia. Kontraknya akan selesai pada 2021. Saat ini, proses perundingan masih berjalan.

"Saya bikin analogi dia menyewa rumah kita, 2021 selesai. Kalau mau strict pada aturan, kita nunggu saja pada 2021. Tapi kan kita boleh dong tidak mau disewa lagi," ujar dia.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu menyatakan, hal yang masih menjadi pembahasan antara pemerintah dengan Freeport Indonesia antara lain menyangkut divestasi saham, ketentuan pajak, dan pembangunan smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian).

"Kita bicara keinginan pemerintah memiliki 51 persen saham Freeport, tidak pernah mundur dari smelter, dan aturan pajak karena kecenderungan tarif pajak kita turun. Kalau mau pajak naildown (tetap), bayarlah pajak 42 persen sampai 20 tahun itu," dia memaparkan.

Kembali Luhut menegaskan jika pemerintah menolak untuk diatur Freeport. Indonesia kini berharap adanya keseimbangan pada kerja sama dengan Freeport usai puluhan tahun perusahaan tersebut mengambil sumber daya alam Indonesia.

"Kalau negosiasi jangan dong kamu atur kami. Kami yang atur, karena spiritnya kesetaraan. Apa yang sudah kau ambil dari perut bumi kita, jangan kau hitung-hitung dong, itu milik Indonesia. Kau bayar royalti, baru boleh ambil. Intinya jangan terlalu banyak ngaturlah," tandas dia. (Amd/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya