Permintaan Buruh Migran Saat Jokowi Berkunjung ke Hong Kong

Ada sejumlah tuntutan buruh migran kepada pemerintah, salah satunya revisi UU Nomor 39 Tahun 2004.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Apr 2017, 16:39 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2017, 16:39 WIB
Ilustrasi buruh
Ilustrasi buruh

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menemui ribuan buruh migran Indonesia di Hong Kong pada Minggu (30/4/2017).

Ada sejumlah tuntutan buruh migran yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) kepada pemerintah, salah satunya revisi Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 guna melindungi hak-hak Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Pertemuan Jokowi dan buruh migran Indonesia di Hong Kong selang sehari menjelang peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang jatuh pada Senin 1 Mei 2017.

Menindaklanjuti agenda pertemuan tersebut, JBM yang merupakan koalisi 28 organisasi di Indonesia dan di luar negeri, angkat bicara mengenai kondisi buruh migran Indonesia di Hong Kong.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto mengungkapkan data kasus yang dialami buruh migran Indonesia mencapai 1.501 pengaduan selama dua tahun terakhir (2015-2017). Khusus di Hong Kong, ada 215 kasus.

"Sebesar 93 persen dari 215 kasus itu adalah kasus pelanggaran perjanjian penempatan yang menyebabkan pekerja migran mengalami pembebanan biaya mahal atau overcharging," kata dia saat Konferensi Pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (30/4/2017).

Di Hong Kong, lanjut Hariyanto, pelayanan tata kelola migrasi pekerja migran yang dilakukan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong masih belum maksimal.

"Kami mempertanyakan pengawasan KJRI terhadap mitra kerja PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) atau agensi di Hong Kong yang melakukan overcharging ini," tegas dia.

Sementara itu, Direktur Advokasi Migrant Institute Nursalim menambahkan, berbagai persoalan menyangkut buruh migran di Hong Kong hingga kini belum terselesaikan. Contohnya pelayanan KJRI kurang maksimal, overcharging, kebebasan beragama, narkotika, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak sampai dengan jual beli pekerjaan.

"Pekerja migran perempuan posisinya paling rentan, karena kondisi pekerjaannya jam kerja berlebih, kekerasan fisik dan psikis, dipindahkerjakan, pelecehan seksual, sampai tak dibayar gajinya," keluh Nursalim.

Dari datanya, pengaduan terbanyak datang dari buruh migran di Hong Kong. Sepanjang 2016, Nursalim mengaku, sudah menerima pengaduan sebanyak 22 kasus. Totalnya mencapai 211 kasus dalam kurun waktu 2011-2016. "Kasus paling besar gaji tidak dibayar, PHK sepihak, dan overcharging," terang dia.

Sekretariat Nasional JBM, Savitri Wisnu menyoroti masalah pekerja migran di Hong Kong karena tata kelola migrasi yang minim. Jaringannya juga menemukan dua masalah pelayanan.

"Pertama, perlakuan dan pelayanan KJRI terhadap pekerja migran masih diskriminatif. Kedua, pemberian informasi masih terbatas," dia mengungkapkan.

Berdasarkan data dan permasalahan tersebut, Savitri mendesak pemerintah untuk serius memperbaiki dan mengevaluasi tata kelola pelayanan dan perlindungan pekerja migran di KJRI Hong Kong.

Mulai dari pelayanan job order, informasi mengenai agensi yang di black list, layanan pengurusan dokumen kerja, hingga menangani kasus secara litigasi dan non litigasi.

"Pemerintah juga harus serius mambahas isi revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 sesuai dengan prinsip perlindungan secara menyeluruh berdasarkan Konvensi PBB 1990 dan CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women)," papar dia.

Isi pasal yang mesti diubah, saran Savitri harus menjamin hak dan perlindungan bagi pekerja migran dengan berdasarkan prinsip pemenuhan kepada Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan, non diskriminatif, kesetaraan, transparan, akuntabel, dan paritisipatif.

Selanjutnya harus meminimalisir peran berlebihan kepada PPTKIS dan menyerahkan tanggung jawab yang lebih besar kepada negara. Serta menjamin dan memastikan adanya tata kelola migrasi yang aman bagi pekerja migran.

"Ada mekanisme koordinasi dan sinkronisasi peran antar pemerintah, baik antara pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi saling tumpang tindih, overlapping implementasi kebijakan yang justru akan merugikan pekerja migran dari sebelum bekerja sampai pulang ke daerahnya," kata Savitri.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya