Liputan6.com, New York - Harga minyak menguat di awal pekan ini seiring sejumlah pelaku pasar bertaruh terhadap harga minyak usai tembus level terendah dalam tujuh bulan. Namun, kenaikan harga minyak terbatas lantaran kenaikan persediaan minyak di Amerika Serikat (AS) dan negara lainnya.
Harga minyak jenis Brent naik 29 sen atau 0,6 persen menjadi US$ 45,83 per barel. Harga acuan minyak ini tertekan dekati 20 persen pada pertengahan tahun 2017. Sementara itu, harga minyak AS naik 37 sen atau 0,8 persen ke level US$ 43,38 per barel.
"Usai harga minyak turun, harga minyak menjadi menarik. Ini tidak mengejutkan bila ada aksi beli karena perspektif valuasi," ujar John Kilduff, Hedge Fund Again Capital, seperti dikutip dari laman Reuters, Selasa (27/6/2017).
Advertisement
Baca Juga
Investor meningkatkan posisinya dan bertaruh terhadap kenaikan harga minyak. "Spekulasi terhadap harga minyak akan sangat panjang, dan memainkan peran terhadap harga minyak. Pasar sedang mengambil nafas sebelum langkah berikutnya, yang saya pikir akan melemah," tutur Kilduff.
The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan negara lainnya berusaha mengurangi pasokan global dengan memangkas produksi. Negara tergabung dalam OPEC dan 11 negara pengekspor minyak lainnya sepakat memangkas produksi 1,8 juta barel per hari. Namun, Nigeria dan Libya dikecualikan dari kesepakatan itu.
Ini membuat produksi minyak masih tinggi. Iran juga mencatatkan kenaikan produksi seiring lepas dari sanksi barat. Produksi minyak mencapai 3,8 juta barel per hari.
Sementara itu, US shale oil juga meningkat 10 persen pada tahun lalu. Pengoperasian rigs di AS meningkat hingga ke level tertinggi lebih dari tiga tahun.
"Produksi minyak AS dapt naik 10 menjadi 10,5 juta barel per hari pada akhir tahun 2017. Demikian Libya, Nigeria dan produksi dari laut Utara akan mengantisipasi dari pemangkasan produksi minyak negara OPEC. Kita akan lihat harga minyak di kisaran US$ 40," jelas Gene McGillian, Manager Tradition Energy.
Analis Bank of America-Merrill Lynch menyatakan permintaan terhadap minyak belum tumbuh cepat untuk menyerap hasil produksi. "Melihat pada semester kedua 2017 ke depan kami ragu terhadap pertumbuhan permintaan," dalam laporan Bank of America-Merrill Lynch.
Â
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â
Â
Â