Alasan Sri Mulyani Berencana Ubah Penerapan Gaji Bebas Pajak

Dibanding negara ASEAN, gaji bebas pajak Indonesia yang paling tinggi, walaupun pendapatan per kapita relatif lebih rendah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Jul 2017, 13:24 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2017, 13:24 WIB
Dibanding negara ASEAN, gaji bebas pajak Indonesia yang paling tinggi, walaupun pendapatan per kapita relatif lebih rendah.
Dibanding negara ASEAN, gaji bebas pajak Indonesia yang paling tinggi, walaupun pendapatan per kapita relatif lebih rendah.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (‎Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tengah mengkaji perubahan penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP). ‎Alasannya, batas PTKP di Indonesia yang tinggi dibanding negara se-ASEAN telah mengakibatkan pemerintah kehilangan 3,6 juta Wajib Pajak (WP) dan penerimaan tekor Rp 20 triliun.

"Semakin tinggi PTKP, maka basis pajak makin sedikit. Apalagi Indonesia sudah menaikkan dua kali PTKP," ucapnya di Jakarta, seperti ditulis Kamis (20/7/2017).

Untuk diketahui, pemerintah melalui Menteri Keuangan sebelumnya, Bambang Brodjonegoro telah menaikkan batas PTKP dua kali pada 2015-2016. Di periode 2015, pemerintah menyesuaikan batas PTKP dari Rp 24,3 juta setahun atau Rp 2,02 juta per bulan menjadi Rp 3 juta sebulan atau Rp 36 juta setahun.

Satu tahun berselang, Bambang Brodjonegoro kembali menaikkan PTKP menjadi Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta setahun. ‎Alasannya untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

"Dibanding negara ASEAN, PTKP kita yang paling tinggi, walaupun pendapatan per kapita kita relatif lebih rendah dari Malaysia, Thailand, bahkan dengan Singapura sekalipun. Indonesia menerapkan PTKP yang tinggi," Sri Mulyani menjelaskan.

Dihubungi terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, batas PTKP di Indonesia saat ini cukup tinggi karena ada kenaikan PTKP cukup signifikan dalam periode dua tahun terakhir (2015-2016) masing-masing 50 persen ‎dari tahun sebelumnya.

"Kenaikan ini menyebabkan basis pajak turun," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com.

Hestu Yoga mengaku, pemerintah kehilangan sekitar sekitar 3,6 juta Wajib Pajak (WP) terdaftar yang karena termasuk WP yang bebas dari pungutan pajak karena penghasilannya di bawah PTKP.

"Akibat 3,6 juta WP yang tadinya bayar pajak, tidak lagi bayar pajak karena masuk di bawah PTKP. Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 jadi berkurang, sekitar lebih dari Rp ‎20 triliun di tahun ini," tegas Hestu Yoga.

Sayangnya, kata Hestu Yoga, pemerintah tidak pernah menurunkan batas PTKP yang sudah ditetapkan selama ini. Dengan begitu, untuk meningkatkan rasio pajak dan penerimaan, pemerintah melakukan kajian penerapan PTKP ke depan, salah satunya berdasarkan UMP.

"PTKP memang dalam sejarahnya belum pernah diturunkan. Tapi kami melihat‎ perlu dilakukan kajian untuk mendapatkan formulasi tepat penerapan PTKP ke depannya, apakah berdasarkan UMP atau kenaikan berdasarkan inflasi atau yang lainnya," ia menerangkan.

Hestu Yoga bilang, diskusi dan kajian mengenai perubahan penerapan PTKP tersebut ‎ada di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. Namun ia menegaskan bahwa, dengan kajian tersebut, bukan berarti pemerintah akan menurunkan PTKP saat ini.

"Diskusi dan kajiannya harus dibahas dengan BKF Kemenkeu. Tapi bukan berarti PTKP akan diturunkan sekarang ya," tukas Hestu Yoga.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya